SERAT DARMAGANDHUL
Diterjemahkan dan diulas oleh : Damar Shashangka
Carita adêge Nagara
Islam ing Dêmak bêdhahe Nagara Majapahit kang salugune wiwite
wong Jawa ninggal agama Buda banjur salin agama Islam.
(Cerita berdirinya Negara Islam di Demak, hancurnya Negara Majapahit, dimana saat
itulah awal mula masyarakat Jawa meninggalkan agama Buda [Shiwa Buddha] dan
berganti memeluk agama Islam.)
wong Jawa ninggal agama Buda banjur salin agama Islam.
(Cerita berdirinya Negara Islam di Demak, hancurnya Negara Majapahit, dimana saat
itulah awal mula masyarakat Jawa meninggalkan agama Buda [Shiwa Buddha] dan
berganti memeluk agama Islam.)
Gancaran basa
Jawa ngoko.
(Prosa dalam bahasa Jawa kasar)
(Prosa dalam bahasa Jawa kasar)
Babon asli tinggalane
K.R.T. Tandhanagara, Surakarta.
(Diambil dari catatan induk asli peninggalan K.R.T. Tandhanagara, Surakarta.)
(Diambil dari catatan induk asli peninggalan K.R.T. Tandhanagara, Surakarta.)
BEBUKA
Pupuh Dandanggula
1.
Sinarkara sarjunireng galih, myat carita di pangikêtira, Kiyai
Kalamwadi-ne, ing nguni anggêguru, puruhita mring Raden Budi, mangesthi amiluta, duta
rehing guru, sru sêtya
nglampahi dhawah, pangesthine tan mamang ing lair batin, pinindha lir Jawata.
Tergerak dan terdorong hati ini, setelah mengetahui
cerita indah, dari Kyai Kalamwadi (Kalam =
Ucapan, Wadi = Rahasia), yang dulu pernah berguru menimba ilmu kepada Raden Budi (Buddhi = Kesadaran), mentaati dan menuruti, apa
yang selalu diperintahkan oleh guru, setia menjalankan
petunjuk, tekadnya sudah tiada lagi keraguan
lahir maupun batin, memuja guru bagaikan dewa itu sendiri.
2.
Satuduhe Raden Budi êning, pan ingêmban pinusthi ing cipta, sumungkêm
lair batine, tan etung lêbur luluh, pangesthine ing awal akhir, tinarimeng
Bathara, sasêdyanya
kabul, agung nugraheng Hyang Suksma, sinung ilham ing Alam Sahir myang Kabir, dumadya
Auliya.
Apapun petunjuk Raden Budi (Buddhi = Kesadaran)
sangat jernih, dijunjung dan diresapi didalam hati, benar-benar dihargai lahir
maupun batin, tiada peduli walau harus hancur luluh, itulah tekad (Kyai Kalamwadi)
mulai pertama (berguru) hingga akhir nanti,
diterima oleh Bathara (Hyang Widdhi), segala keinginannya -pun terwujud, sangat besar anugerah Hyang Suksma (Yang Maha Gaib), selalu
diberi petunjuk melalui Alam
Sahir (Alam = Dunia, Sahir;Sugrho = Kecil, Alam Kecil, Micro cosmos, Jagad Cilik, Bhuwana Alit maksudnya Badan Manusia) maupun Alam
Kabir (Alam = Dunia,
Kabir;Kubro = Besar, Alam Besar, Macro cosmos, Jagad Gedhe, Bhuwana Agung maksudnya Alam semesta), sehingga akhirnya menjadi Auliya (Manusia Pilihan).
3.
Angawruhi sasmiteng Hyang Widdhi, pan bisa-a mituhu susêtya, mring dhawuh
wêling gurune, kêdah mêdharkên
kawruh, karya suka pirêneng jalmi, mring sagung
ahli sastra, tuladhaning kawruh, kyai Kalamwadi ngarang, sinung aran srat Darma Gandhul jinilid, sinung têmbang macapat.
Mampu membaca segala
rahasia Hyang Widdhi, dan selalu bisa mematuhi dengan teguh, segala pesan gurunya, yang memerintahkan agar mengajarkan sebuah pengetahuan, agar membuat tenteram hati sesama, dan juga membuka rahasia
agar seluruh ahli sastra, bisa meniru dan menyebarkannya,
Kyai Kalamwadi (Kalam=Ucapan, Wadi
=Rahasia) menulis, diberikan judul SERAT DARMAGANDHUL
(Darma = Kebenaran, Gandhul = Menggantung, Mengambang, Darmagandhul artinya KEBENARAN YANG MENGAMBANG), dirangkai dalam syair-syair tembang Macapat (Tembang kecil)
4.
Pan katêmben amaos kinteki, têmbang raras rum saya prasaja, trêwaca
wijang raose, mring
tyas gung kumacêlu, yun darbeya miwah nimpeni, pinirit tinuladha, lêlêpiyanipun, sawusnya
winaos tamat, linaksanan tinêdhak tinurun sungging, kinarya nglipur manah.
Saat membaca tulisan beliau, cakupan tembang-nya
sangat bagus dan gampang dimengerti, jelas dan terang maksudnya,
membuat hati terpana, sehingga ingin memiliki
(tulisan tersebut) dan ingin menyimpannya, ingin menulisnya ulang untuk diri sendiri, semua isinya, setelah selesai
membaca, segera ditulis ulang, berguna untuk
menghibur hati.
5.
Pan sinambi-sambi jagi panti, sasêlanira ngupaya têdha, kinarya cagak
lênggahe, nggennya dama
cinubluk, mung kinarya ngarêm-arêmi, tarimanireng badan, anganggur ngêthêkur,
ngêbun-bun pasihaning Hyang, suprandene tan kalirên wayah siwi, sagotra minulyarja.
Saat berdiam diri dirumah, disela-sela waktu
bekerja, tembang ini bisa dinyanyikan,
sebagai petunjuk bagi orang bodoh (seperti saya, maksudnya Darmagandhul), dan
bisa dibuat untuk menentramkan hati, saat beristirahat, saat menganggur tiadapekerjaan, tembang ini bisa dibuat memupuk rasa kasih kepada Hyang Widdhi, tidak banyak menyita waktu untuk menyanyikannya sehingga tak kelaparan anak istri, sekeluarga tetap sejahtera.
sebagai petunjuk bagi orang bodoh (seperti saya, maksudnya Darmagandhul), dan
bisa dibuat untuk menentramkan hati, saat beristirahat, saat menganggur tiadapekerjaan, tembang ini bisa dibuat memupuk rasa kasih kepada Hyang Widdhi, tidak banyak menyita waktu untuk menyanyikannya sehingga tak kelaparan anak istri, sekeluarga tetap sejahtera.
6. Wus
pinupus sumendhe ing takdir, pan sumarah kumambang karseng Hyang, ing
Lokhilmakpul tulise, panitranira nuju, ping Trilikur ri Tumpak manis, Ruwah Je Warsanira, Sancaya kang
Windu, Masa Nêm ringkêlnya Aryang, wuku Wukir sangkalanira ing warsi: Wuk Guna Ngêsthi Nata
Pada akhirnya pasrah kepada takdir, berserah
mengikuti kehendak Hyang (Widdhi), telah tercatat di Lokhilmakpul (Laukhil
Makfudz =Kitab yang konon berisi catatancatatan takdir
manusia), saat menulis ulang tepat, tanggal Duapuluh tiga hari Tumpak Manis (Sabtu Legi), bulan RUWAH (Sya’ban) tahun JE (tahun ke-empat
dalam satu windu yang terdiri atas delapan tahun, yaitu Alip, Ehe, Jimawal, Je,
Dal, Be, Wawu, Jimakir), windu SANCAYA (nama kumpulan
windu pada urutan keempat atau terakhir, yaitu ADI,
KUNTARA, SENGARA, SANCAYA), masa ke-VI (Masa adalah perhitungan mirip bulan dan dipergunakan untuk pertanian), wuku
Wukir (Wuku adalah hari 30-an,
dimana satu hari terdiri dari 7 hari biasa atau satu hari sama dengan satu minggu, Wukir adalah nama hari wuku ke-3), pertanda
tahun Wuk Guna Ngesthi Nata (Wuk = 0, Guna = 3, Ngesthi
= 8, Nata = 1. Jika dibalik 1830).
Ing sawijining dina Darmagandhul matur marang Kalamwadi mangkene “Mau maune kêpriye dene wong Jawa kok banjur padha
ninggal agama Buda salin agama Islam?”
Wangsulane Ki
Kalamwadi: “Aku dhewe iya ora pati ngrêti, nanging aku tau dikandhani guruku, ing mangka guruku kuwi iya
kêna dipracaya, nyaritakake purwane wong
Jawa padha ninggal agama Buda banjur salin agama Rasul”.
Ature Darmagandhul: “Banjur kapriye dongengane?”
…(Kisah
seterusnya saya potong (dalam bahasa Jawa) oleh Bayu Tria Ganesha)…
Terjemahan asli dalam
bahasa Indonesia :
Pada suatu hari Darmagandhul bertanya kepada Kalamwadi, begini pertanyaannya,” Apa awal
mula penyebab orang Jawa meninggalkan agama Buda (Shiwa Buddha~bukan hanya
Buddha) dan berganti memeluk agama Islam?”
Ki Kalamwadi menjawab, “Aku sendiri juga kurang tahu, akan tetapi aku
pernah mendapatkan cerita dari guruku, dan guruku adalah orang yang bisa
dipercaya, beliau menceritakan awal mula orang Jawa meninggalkan agama Buda (Shiwa Buddha)
dan berganti memeluk agama Rasul (Islam).
Bertanya lagi Darmagandhul,”Bagaimanakah ceritanya?”
Ki Kalamwadi lantas berkata,”Hal ini sesungguhnya memang perlu
diceritakan agar mereka yang belum mengetahui lantas bisa mengetahuinya.”
Pada jaman dahulu Negara Majapahit sesungguhnya bernama asli Majalengka, sedangkan nama Majapahit
itu hanyalah sekedar perlambang, akan tetapi yang belum tahu kisahnya maka nama
Majapahit-lah dianggap nama asli.
Di Negara Majalengka yang bertahta sebagai Raja terakhir bergelar Prabhu Brawijaya. Kala itu, Sang
Prabhu tengah tergila-gila, Sang Prabhu menikah dengan Putri Cempa (Champa), padahal
Putri Cempa beragama Islam. Disetiap memadu asmara, Sang Retna (Retna : Intan,
maksudnya Putri Cempa) senantiasa menceritakan kepada Sang Raja, tentang keluhuran
agama Islam, setiap dipanggil menghadap, tiada lain lagi yang diceritakan, selain
memuliakan agama Islam, sehingga membuat ketertarikan hati Sang Prabhu kepada agama
Islam.
Tidak berapa lama kemudian, seorang keponakan Putri Cempa yang bernama Sayyid Rahkmat (Sayyid Rakhmad) berkunjung ke
Majalengka, serta memohon ijin kepada Sang
Raja, agar diperkenankan menyebarkan syariat agama Rasul (Islam). Sang Prabhi mengabulkan apa yang diminta oleh Sayid
Rakhmat. Sayid Rakhmat lantas berdiam di Ngampeldenta (daerah Surabaya)
dan mensi’arkan agama Rasul (Islam). Mulai saat itu banyak para ulama dari
seberang berdatangan, para ulama dan para Maulana
menghadap Sang Prabhu di Majalengka, untuk meminta ijin berdiam dipesisir (utara Jawa). Permintaan merekapun dikabulkan oleh
Sang Raja. Lama kelamaan apa yang diingini oleh para pendatang mendapat
sambutan juga, masyarakat Jawa lantas banyak
yang memeluk agama Islam.
Salah satunya adalah Sayit Kramat (Sayyid Karomah) menjadi guru dari
orang Jawa yang telah memeluk agama Islam, berkedudukan di daerah Benang
wilayah Tuban. Sayit Kramat adalah Maulana dari tanah Arab masih keturunan Nabi
Rasulullah (Nabi Muhammad), oleh karenanya dipercayai sebagai seorang guru oleh orang
Islam. Banyak orang Jawa yang terpikat dan berguru kepada Sayit Kramat. Seluruh
masyarakat Jawa dipesisir utara, mulai ke barat sampai ketimur semua meninggalkan agama
Buda (Shiwa Buddha), dan lantas memeluk agama Rasul (Islam). Bahkan mulai
daerah Blambangan ke barat hingga daerah Banten, banyak yang pada
tertarik ucapan-ucapan Sayit Kramat.
Padahal agama Buda (Shiwa Buddha) telah ada ditanah Jawa selama kurang
lebih seribu tahun, semua pengikutnya menyembah kepada Budi Hawa. Budi (Buddhi
: Kesadaran ~ disini yang dimaksud adalah Kesadaran Sejati) adalah Dzat
Hyang Widdhi, Hawa adalah
kehendak hati (maksudnya tanpa paksaan. Menyembah Buddhi Hawa artinya menyembah Kesadaran Sejati tanpa ada
paksaan dari siapapun dan apapun : Damar
Shashangka), manusia tidak memiliki kekuatan apapun, manusia hanya sekedar
menjalani, Buddhi (Kesadaran Sejati ~ Tuhan)-lah yang menggerakkannya.
Sang Prabhu Brawijaya memiliki putra lelaki hasil perkawinannya dengan
seorang putrid berkebangsaan Cina, lahir di Palembang, bernama Raden Patah.
Ketika Raden Patah telah beranjak dewasa, berniat menghadap kepada ramandanya, ikut serta
saudara lain ayah satu ibu, bernama Raden Kusen. Setibanya di Majalengka Sang Prabhu
sempat kebingungan untuk memberikan nama kepada putranya tersebut. Sebab jika
mengambil nama dari ramandanya maka harus bernama Jawa Buda karena ramandanya
beragama Jawa Buda. Jika mengambil nama menurut para leluhur dahulu, seorang putra
Raja yang lahir di wilayah pegunungan harus diberinama Bambang. Jika mengambil
nama dari ibunya maka lebih cocok diberinama Kao Tiang, jika mengambil nama dari
Arab sesuai dengan agama yang dianut Raden Patah maka pantas diberi nama Sayid
atau Sarib. Sang Prabhu lantas memerintahkan Patih dan para nayaka (pejabat) untuk
menghadap, semua diminta pertimbangan untuk memberikan nama kepada putranya
ini. Sang Patih mengatakan bahwasanya jika menurut leluhur maka pantas diberikan
nama Bambang, akan tetapi karena ibunya berasal dari Cina maka lebih baik diberinama
Babah, selain pantas juga menyiratkan maksud bahwa Raden Patah ‘pambabare ana Negara
liya (lahirnya di daerah luar Jawa)’. Mendengar penuturan Sang Patih yang seperti itu,
semua pejabat menyepakati. Dan pada akhirnya Sang Raja kemudian mengumumkan
bahwasanya putra beliau yang lahir di Palembang tersebut diberikan gelar dan nama
Babah Patah. Hingga sekarang, untuk menyebut anak blesteran Cina Jawa lumrah
dinamakan Babah. Pada waktu itu, Babah Patah merasa takut jika tidak menyetujui
kehendak ramandanya memberikan nama Babah padanya, sehingga seolah-olah dia juga
menyukai nama itu, padahal tidak demikian, sesungguhnya dia tidak menyukai nama Babah
tersebut.
Dikala itu Babah Patah
lantas diangkat sebagai Bupati didaerah Demak, membawahi seluruh Bupati
mulai pesisir Demak ke barat, serta pula Babah Patah dinikahkan dengan putrid
dari Ngampelgadhing, cucu dari Kyai Ageng Ngampel (Sayit Rahkmat atau Sunan
Ngampel/Ampel ~ keponakan Putri Cempa). Setelah sekian waktu berdiam di Majalengka
lantas boyongan ke Demak, berada didesa Bintara. Karena Babah Patah semenjak di
Palembang telah beragama Islam, oleh Sang Prabhu diperkenankan tetap menjalankan agamanya di Demak. Sedangkan
Raden Kusen waktu itu diangkat sebagai
Adipati Terung (daerah Tarik, Mojokerto sekarang), diberikan gelar Raden Arya Pecattandha.
Lama kelamaan syariat Rasul (agama Islam) semakin berkembang pesat, semua
ulama meminta perkenanan Sang Prabhu untuk memakai gelar Sunan. Sunan itu
artinya budi (buddhi : Kesadaran), akar kecerdasan untuk membedakan mana yang
baik dan mana yang buruk, Jika buah budi (Buah Kesadaran) mampu menyadari kepada
segala kebaikan, maka manusia seperti itu patut dijadikan tempat ‘sinuwunan
(dimintai)’ pengetahuan lahir batinnya. (Maksudnya patut dijadikan guru)
Pada saat itu para ulama
budi (kesadaran)-nya masih bagus, belum memiliki keinginan untuk berbuat tidak
baik, masih berfokus pada spiritualitas murni. Sang Prabhu Brawijaya melihat
dan heran, para ulama Islam kok olah batinnya mirip dengan pengikut agama Buda (Shiwa Buddha), akan
tetapi minta disebut Sunan. Spiritualitas yang
dijalankan sama dengan pengikut agama Buda. Padahal menurut kabar, penganut sayariat Rasul (Islam) hanya menjalankan puasa
tidak sedemikian kerasnya, karena merusak/melanggar
syariat (Maksudnya, konon kabar yang diterima Sang Prabhu tentang aturan spiritualitas orang-orang Islam sesuai
syariat, tidaklah seketat yang beliau lihat yang dijalankan para Sunan tersebut. Sang Prabhu tidak tahu bahwa para
Sunan tersebut menjalankan laku
Tassawuf, laku spiritualitas yang memang kadang sedikit berseberangan denga syariat Islam itu sendiri
dibeberapa hal). Prabhu Brawijaya-pun mengijinkan
permintaan para ulama. Agama Rasul semakin menyebar luas. Semua kejadian diatas memang sangat aneh (maksudnya
begitu mudahnya Sang Prabu memberikan
ijin), kita tidak menyaksikan sendiri, semua ini berasal dari ingatan para leluhur, manakala kita mendapat cerita ini, sudah
sepatutnya otak kita kritis, mau mempercayainya
atau tidak, harus benar-benar dipertimbangkan secara matang, sampai sekarang masih Nampak peninggalan-peninggalan
sejarah yang berkaitan dengan cerita diatas, masih bisa dinyatakan
keberadaannya, oleh karena itu menurutku kejadian diatas bisa dipercaya.
Buta Locaya matur maneh:
“Punika namanipun botên timbang kaliyan sot panjênêngan, botên sapintên lêpatipun, tur
namung tiyang satunggal ingkang lêpat, nanging
ingkang susah kok tiyang kathah sangêt, botên timbang kaliyan kukumipun, paduka punika namanipun damêl mlaratipun tiyang
kathah, saupami konjuk Ingkang Kagungan Nagari, paduka inggih dipunukum mlarat
ingkang langkung awrat, amargi ngrisakakên
tanah, lah sapunika mugi panjênêngan-sotakên wangsulipun malih, ing ngriki sagêda mirah toya malih, sagêd dados asil
panggêsangan laki rabi taksih alit lajêng mêncarakên titahipun Hyang Manon. Panjênêngan sanes Narendra têka
ngarubiru agami, punika namanipun
tiyang dahwen”.
Sunan Benang ngandika:
“Sanadyan kok-aturake Ratu Majalêngka aku ora wêdi.”
Kala itu Sunan Benang
berkeinginan untuk mengunjungi kota Kedhiri. Dalam perjalanan tersebut,
yang menemani hanya dua orang sahabat (murid). Sesampainya di wilayah Kedhiri bagian
utara, tepatnya di wilayah Kertasana (Kertosono), perjalanan mereka terhalang oleh
aliran air sungai Brantas yang tengah meluap banjir (namun tidak begitu besar). Sunan
Benang beserta dua muridnya masih bisa menyeberang. Sesampainya di sebelah timur sungai
mereka mencari tahu agama apa yang dipeluk oleh masyarakat yang tengah berdiam
disitu, apakah sudah memeluk agama Islam atau masihkah menjalankan agama Budi
(dalam teks asli, tidak tertulis Buda, tapi Budi. Berarti jelas, yang dimaksud adalah
agama-agama selain Islam dan keberadaan agama-agama tersebut diikat oleh tali
Kesadaran pluralitas. Saling asah asih dan asuh satu sama lain. Agama Budi, kurang lebihnya
berarti Agama Kesadaran : Damar Shashangka). Menurut penuturan Ki Bandar
(mungkin salah seorang penduduk yang sudah memeluk agama Islam), masyarakat
sekitar mayoritas memeluk agama Kalang. Yang memeluk agama Buda hanya beberapa saja,
sedangkan syiar agama Rasul (Islam) masih sedikit sekali, tapi sudah mulai merambah
kesana. Mayoritas masyarakat disana beragama Kalang, memuliakan Bandung
Bandawasa. Bandung dianggap sebagai Nabi. Jika tengah berhari raya, seluruh pengikutnya
bersama-sama memakan makanan yang enak-enak, bersuka cita dikediaman
masing-masing. Sunan Benang berkata : “Jikalau demikian seluruh masyarakat yang bermukim
disini ber-agama Gedhah. Gedhah maksudnya tidak hitam juga tidak putih. Oleh
karenanya diwilayah ini patut disebut kota Gedhah.”
Ki Bandar berkata: “Sabda
yang telah tuan ucapkan, saya yang menjadi saksinya.” Wilayah di sebelah utara
kota Kedhiri lantas terkenal dengan nama kota Gedhah. Sampai sekarang-pun masih tetap
disebut kota Gedhah. Akan tetapi jarang yang mengetahui asal usul mengapa
diberi nama demikian.
Sunan Benang berkata
kepada muridnya : “ Kalian berdua carilah banyu imbon (air bersih yang disimpan
untuk keperluan memasak) ke pedesaan. Sungai ini masih banjir, airnya masih kotor, jikalau diminum
akan membuat sakit perut. Dan lagi, ini sudah
masuk waktu shalat Dzuhur, aku hendak berwudlu, hendak menjalankan shalat.”
Salah seorang
murid segera pergi kearah pedesaan untuk mencari air bersih. Sesampainya didesa Pathuk dia mendapati sebuah
rumah yang terlihat tanpa penghuni lelaki,
disana yang ada cuma seorang gadis muda belia. Seorang gadis yang baru beranjak
dewasa. Kala itu dia tengah sibuk
menenun. Sang murid mendekat serta berkata sopan : “Gadis yang cantik, saya hendak meminta sedikit
banyu imbon (air yang disimpan) yang bersih.” Sang perawan terkejut
begitu mendengar suara seorang pria yang tiba-tiba menyapanya. Begitu menoleh, seketika terlihat olehnya seorang pria
berpakaian santri. Salah mengira sang
perawan, dikiranya lelaki tersebut hendak menggodanya, hendak berbuat kurang ajar padanya, oleh karenanya
dijawabnya permintaan tersebut dengan ucapan
kasar : “Anda ini baru saja melewati sebuah sungai kok malah kesini hendak meminta banyu imbon (air yang disimpan). Disini
tidak ada kebiasaan menyimpan air, kecuali
air kecing saya ini, jika hendak meminum, minumlah!” (Kesalah pahaman ini terjadi karena memang didaerah dimana sang gadis
tinggal, sangat dekat sekali dengan aliran
sungai Brantas. Tak mungkin seorang yang berada didaerah situ tidak melihat adanya aliran air sungai disana : Damar
Shashangka).
Mendengar jawaban
semacam itu, sang santri segera pergi tanpa pamit. Langkah kakinya dipercepat
sembari menyumpah serapah sepanjang jalan. Setibanya dihadapan Sunan Benang, segera
diceritakannya apa yang baru dialaminya. Mendengar penuturan muridnya, Sunan Benang
marah, hingga keluar sumpah-nya. Sumpah yang terucap (darti mulut Sunan Benang)
adalah diwilayah tersebut akan sulit mencari air dan setiap gadis serta perjaka yang
tinggal disana tidak akan bisa menikah sebelum usianya tua. Begitu usai sumpah terucap,
seketika itu juga aliran Sungai Brantas tiba-tiba surut dan lantas meluap
menerjang wilayah pedesaan, hutan, ladang dan pesawahan. Banyak desa yang rusak
oleh karena terlanggar aliran sungai yang menyimpang jalur. Setelah seluruh air
sungai tumpah ke pedesaan, menyusul kemudian menyusut dan lenyap. Hingga
sekarang diwilayah Gedhah sangat sulit mencari air, sedangkan para perjaka dan
perawan yang tinggal disana banyak yang menjadi perjaka dan perawan tua. Sunan Benang
lantas melanjutkan perjalanannya ke Kedhiri.
Pada saat itu tersebutlah
seorang makhluk halus (Jin/Asura) bernama Nyai Plencing yang berdiam
disebuah sumur diwilayah Tanjungtani. Waktu itu seluruh anak cucunya berdatangan,
melaporkan kejadian bahwasanya ada seorang manusia bernama Sunan Benang, sangat suka
sekali melakukan kekerasan kepada para makhluk halus yang tidak bersalah,
mengunggulkan kesaktiannya. Bahkan aliran sungai yang berasal dari Kedhiri dikutuk sehingga
kering seketika. Alirannya sempat keluar dari jalur yang semestinya (sebelum lenyap mengering).
Akibatnya banyak desa, hutan, ladang dan pesawahan
rusak terlanggar. Semua itu karena ulah Sunan Benang. Bahkan lagi mengutuk
penghuni didaerah tersebut agar menjadi perawan dan perjaka tua serta mengutuk didaerah tersebut juga akan kesulitan
mencari air dan bahkan mengganti nama wilayah seenaknya dengan nama Gedhah.
Sunan Benang memang suka membuat masalah. Begitu mendengar pengaduan anak
cucunya seperti itu, Nyi Plencing (diikuti seluruh anak cucunya) segera menyusul kemana Sunan Benang
tengah berjalan. Akan tetapi seluruh makhluk
halus tadi tidak ada yang bisa mendekati Sunan Benang. Badan mereka terasa
panas bagaikan dibakar. Para makhluk halus tadi segera menuju ke Kedhiri.
Sesampainya di Kedhiri, segera menghadap Raja mereka dan menceritakan
semua yang baru saja terjadi. Raja mereka
berdiam di Selabale (sebelah barat kota Kedhiri). Dia bergelar Buta Locaya. Wilayah Selabale tepat berada di kaki
pegunungan Wilis. Buta Locaya sesungguhnya
adalah (bekas) Patih Sri Jayabaya (Prabhu Jayabaya). Dulu dia bernama Kyai Daha, mempunyai seorang adik bernama Kyai
Daka. Kyai Daha adalah penghuni asli Kedhiri
semenjak dulu. Begitu Sri Jayabaya bertahta, namanya diambil sebagai nama Negara (yang diperintah oleh Sri Jayabaya),
sedangkan dia sendiri diberi nama baru Buta Locaya dan diangkat sebagai Patih, pendamping Sang Prabhu Jayabaya.
Buta artinya : Buteng atau Bodoh, Lo artinya kamu, Caya artinya bisa
dipercaya. Kyai Buta Locaya memang bodoh, akan tetapi jujur, setia dan berbakti
kepada Raja. Oleh karenanya, dia lantas diangkat sebagai Patih. Awal mula ada gelar Kyai,
dimulai oleh Kyai Daha dan Kyai Daka ini. Kyai artinya : Ngayahi anak putune sarta
wong-wong ing kana keringe (Orang yang mampu mengiringi/menjaga/momong anak cucu berikut
sesama makhluk)
Saat Sri Narendra (Nara : Manusia, Indra : Dewa Indra. Manusia yang
bagaikan Dewa Indra. Dewa Indra adalah Raja para Dewa. Manusia yang bagaikan Dewa
Indra berarti dia seorang Raja. Disini maksudnya adalah Sri Jayabaya : Damar
Shashangka) tengah keluar keraton (maksudnya saat tengah terjadi peperangan dengan
Jenggala dan Sri Jayabaya
tengah dalam kesulitan) beliau pernah ke kediaman Kyai Daka. Disana beliau beserta para pengikut disambut dengan
berbagai persembahan oleh Kyai Daka. Oleh
karenanya Sang Prabhu (Jayabaya) sangat mengasihi Kyai Daka. Nama Kyai Daka
diambil sebagai nama sebuah desa, selanjutnya Kyai Daka lantas diberi nama baru
Kyai Tunggulwulung, dan dikemudian
hari (setelah berhasil memenangkan peperangan dengan Jenggala) diangkat sebagai seorang Senopati.
Saat Sang Prabhu Jayabaya moksha, diikuti pula oleh putri beliau yang bernama
Ni Mas Ratu Pagedhongan. Buta Locaya dan Kyai Tunggulwulung-pun ikut
melakukan moksha (Moksha disini ada dua arti, pertama Moksha menyatunya Atman
dengan Brahman seperti yang dialami oleh Sang Prabhu Jayabaya sendiri, kedua
moksha hilang raganya berpindah alam. Pemahaman orang Jawa sekarang tentang kata MUKSWO
cenderung mengarah ke arti yang kedua, yaitu berpindah alam : Damar
Shashangka). Ni Mas Ratu
Pagedhongan lantas menjadi Raja makhluk halus pulau Jawa. Pusat pemerintahannya berada di Laut Selatan dan
bergelar Ni Mas Ratu Anginangin. Seluruh makhluk halus (Jin/Asura) yang berdiam di lautan serta didaratan berikut
yang berdiam di tepi kanan kiri
pulau Jawa, semua tunduk kepada Ni Mas Ratu Pagedhongan.
Buta Locaya (setelah moksha ~ maksudnya berpindah alam : Damar
Shashangka) berkedudukan di Selabale (kaki pegunungan Wilis, sebelah barat Kedhiri),
sedangkan Kyai Tunggulwulung berkedudukan di (Gunung) Kelud (diselatan Kedhiri).
(Kyai Tunggulwulung) menjaga kawah dan lahar. Manakala lahar keluar, dia akan
menjaganya agar tidak sampai merusak pedesaan beserta seluruh penghuninya.
Pada waktu itu Kyai Buta
Locaya tengah duduk diatas kursi kencana yang dialasi dengan permadani
gemerlapan, dihiasi dengan bulu-bulu merak. Dia tengah dihadap oleh patih-nya
bernama Megamendhung beserta kedua putranya, yang sulung bernama Panji Sektidiguna, yang bungsu
bernama Panji Sarilaut.
Buta Locaya tengah
berbincang-bincang dengan mereka yang tengah menghadap, mendadak dikejutkan oleh
kedatangan Nyi Plencing yang langsung memeluk kaki (Buta Locaya) sembari
menghaturkan bahwasanya ada manusia yang tengah membuat kerusakan, berasal dari
Tuban yang kini tengah berkelana di wilayah Kedhiri, bernama Sunan Benang. Nyai
Plencing menghaturkan segala kesusahan yang dialami para makhluk halus serta manusia
(akibat perbuatan Sunan Benang.)
Mendengar pengaduan Nyi Plencing seperti itu Buta Locaya bangkit kemarahannya. Hingga
mendidih bagaikan api badannya. Segera dipanggilnya seluruh anak cucu berikut seluruh jin perayangan dan
diperintahkannya untuk menghadang Sunan Benang. Seluruh makhluk halus
mempersiapkan diri dengan senjata perang. Mereka
segera berangkat berjalan seiring hembusan angin. Tidak berapa lama para makhluk
halus telah sampai di sebelah utara desa Kukum. Ditempat itu Buta Locaya segera merubah wujudnya menjadi manusia bernama
Kyai Sumbre, sedangkan makhluk halus yang lain sengaja tidak menampakkan wujud.
Kyai Sumbre lantas berdiri ditengah jalan tepat dibawah naungan pohon Sambi
(Kusambi : Scheicheratriyuga Wild, banyak tumbuh disekitar hutan jati. Besarnya kurang lebih 1,75 m dan bisa
mencapi tinggi 40 meter : Damar
Shashangka) berniat menghadang Sunan Benang yang tengah berjalan dari arah
utara.
Tidak menunggu
waktu lama Sunan Benang terlihat berjalan dari arah utara. Sunan Benang tidak khilaf melihat sosok manusia
yang tengah berdiri dibawah pohon Sambi yang tak lain adalah Raja makhluk
halus. Sosok jadijadian itu berniat hendak mengganggu perjalanannya, bisa dirasakan dari keberadaan hawa tubuhnya
yang sangat panas bagai bara. Sedangkan seluruh makhluk halus yang lain
seketika semua menyingkir dan
menjauh, tidak betah terkena perbawa Sunan Benang. Sedangkan Sunan Benang sendiri, tidak betah dekat dengan Kyai Sumbre, sebab
bagaikan berdekatan dengan bara api.
Begitu juga Kyai Sumbre, merasakan hal serupa.
Dua orang murid yang
pingsan sedari tadi (karena merasakan hawa yang panas luar biasa), mendadak
sekarang kedinginan (begitu mereka telah siuman). Mereka tidak kuat terkena perbawa Kyai
Sumbre.
Sunan Benang berkata
kepada Kyai Sumbre : “Buta Locaya, apa maksudmu menghadang perjalananku
dan menyamar sebagai manusia dan bernama Kyai Sumbre, bagaimanakah kabarmu?”
Terkejut Buta Locaya manakala Sunan Benang
mengenali siapa dirinya yang sesungguhnya,
terlanjur basah sudah ketahuan, maka lantas bertanya kepada Sunan Benang : “ Bagaimanakah anda bisa tahu kalau saya
ini adalah Buta Locaya?”
Sunan Benang menjawab :
“Aku tidak akan tertipu, aku tahu kamu adalah Raja makhluk halus diwilayah
Kedhiri ini, namamu Buta Locaya.”
Kyai Sumbre bertanya kepada Sunan Benang : “Anda ini orang apa, memakai busana kedodoran tidak
praktis, bukan busana orang Jawa. Mirip bentuk walang kadung (Belalang yang kakinya
panjang-panjang tidak simetris dengan tubuhnya)?”
Sunan Benang menjawab, “Aku berbangsa Arab, namaku Sayid Kramat, kediamanku di Benang
wilayah Tuban. Sesungguhnya yang menjadi keinginanku bertandang ke Kedhiri
ini, hanya sekedar ingin melihat petilasan (bekas) kedhaton (istana) Sang
Prabhu Jayabaya, dimanakah letaknya?”
Buta Locaya lantas
menjawab : “Disebelah timur dari sini terdapat dusun Menang, semua petilasan
(bekas) telah sirna, istana beserta pesanggrahan juga sudah tidak ada lagi. Taman Bagendhawati milik
Ni Mas Ratu Pagedhongan juga sudah musnah, pesanggrahan Wanacatur juga sudah
sirna, hanya tinggal dikenang dalam nama-nama dusun disana. Musnahnya semua
petilasan tadi dikarenakan tertimbun pasir yang dimuntahkan oleh gunung Kelud. Sekarang
saya hendak bertanya, anda melakukan perbuatan yang menyengsarakan kepada anak
cucu Adam (Buta Locaya sengaja menggunakan nama seorang Nabi yang diyakini sebagai nenek
moyang manusia oleh orang Islam seperti halnya
Sunan Benang yang kini berada dihadapannya : Damar Shashangka), dengan mengeluarkan kutuk yang tidak sepatutnya. Mengutuk
agar terjadi perawan tua dan perjaka
tua, menamai seenaknya sendiri tempat yang baru anda masuki dengan nama Gedhah, memindahkan aliran sungai, mengutuk agar
sulit air, itu semua adalah perbuatan yang
bisa disebut menganiaya sesama dan tidak pantas sama sekali. Menimpakan hukuman kepada mereka yang tanpa dosa. Betapa
susahnya menjalani sebuah pernikahan jika
usia sudah sangat tua, mempersulit mereka untuk meneruskan keturunan makhluk Latawalhujwa (Lattawalhujwa ~ Latta dan Hujwa,
adalah nama malaikat yang dipercaya sebagai
putra wanita Allah dijaman sebelum Islam lahir di Makkah. Keberadaan Lattawalhujwa sangat ditentang oleh pengikut
Islam dikemudian hari setelah Islam mulai berkembang di Makkah, karena
Latta dan Hujwa dianggap setara dengan Allah itu sendiri. Buta Locaya sengaja menggunakan nama Lattawalhujja untuk
menunjukkan bahwasanya lebih baik
menjadi makhluk ciptaan Latta wal hujwa, sosok pencipta yang feminine,
dimana sifat feminine yang lembut pastinya akan dominan tergambarkan disetiap makhluk ciptaannya. Daripada diciptakan
oleh sosok pencipta yang keras dan penuh
intimidasi. Itupun, jika memang manusia diciptakan oleh sosok pribadi super. Karena sesungguhnya tidak ada yang menciptakan
manusia. Manusia adalah percikan, bukan
ciptaan. Manusia adalah Illahi yang mewujud.). Seluruh kesengsaraan yang
tercipta ini semua akibat ulah anda.
Betapa susahnya mereka yang tempat tinggalnya terbenam akibat sungai yang berhulu dari Kedhiri beralih
alirannya sehingga menerjang pedhusunan,
hutan, pesawahan sehingga semuanya menjadi rusak. Ditempat ini telah anda kutuk
selamanya sulit air, sungai akan kering, anda telah menganiaya tanpa alasan, menganiaya kepada mereka yang tak mempunyai
dosa!”
Sunan Benang menjawab :
“Alasanku memberikan nama baru Gedhah ditempat ini, sebab kebanyakan agama yang dipeluk oleh
masyarakat disini tidaklah hitam juga tidak putih, tepatnya beragama biru, itulah
agama Kalang. Alasanku mengutuk agar susah mendapatkan air ditempat ini, sebab saat aku meminta air, tidak diberikan. Makanya sungai aku
pindah alirannya. Sedangkan alasanku mengutuk agar ditempat ini semua perawan dan
perjaka akan menikah jika sudah tua usianya, sebab yang aku mintai air dan tidak mau
memberikan adalah seorang perawan.”
Buta Locaya berkata, “Itu namanya tidaklah seimbang dengan kutukan yang anda timpakan, tidak begitu
besar kesalahan yang dibuat mereka, bahkan hanya sebab kesalahan seorang
gadis, akan tetapi yang menerima kesusahan seluruh penghuni disini. Sungguh tidak adil hukuman
tersebut. Anda ini bisa disebut telah membuat kemelaratan banyak orang, jikalau dilaporkan kepada yang berwenang memegang pemerintahan, sudah sepantasnya anda ganti dijatuhi hukuman dibuat
lebih melarat (dari kemelaratan mereka
yang baru saja kehilangan harta benda akibat terlanda aliran air dan kemelaratan para petani akibat
kelak kekurangan air karena ditempat itu sulit mencari air). Nah, sekarang lebih baik
tariklah kutukan anda, agar supaya ditempat ini gampang memperoleh air, sehingga bisa
menghasilkan rejeki berlimpah bagi penduduk, dan agar semua perawan berikut
perjaka bisa menikah disaat muda sehingga bisa memperbanyak keturunan makhluk Hyang
Manon (Tuhan). Anda bukan seorang penguasa yang mempunyai hak atas
wilayah ini sebagaimana seorang Raja, akan tetapi menghakimi
agama-agama yang hidup ditanah ini, itu namanya anda manusia sirik!”
Sunan Benang menjawab :
“Walau hendak kamu laporkan kepada Raja Majalengka (penguasa
sah wilayah ini) aku tidak takut!
Begitu mendengar ucapan Sunan Benang bahwa dirinya tidak takut kepada penguasa sah tanah Jawa, yaitu Raja
Majalengka, bangkitlah amarah Buta Locaya. Seketika
dia berkata kasar :
“Ucapan anda tadi bukan
ucapan seorang ahli negara (ucapan bangsawan atau ucapan orang yang
berpendidikan), hanya pantas jika diucapkan oleh mereka yang suka berkeliaran ditempat
madat (maksudnya preman), yang hanya mengagungkan kekuatan otot semata.
Seyogyanya janganlah seperti itu, merasa menjadi kekasih Tuhan, merasa banyak teman Malaikat,
lantas berbuat seenaknya tidak memperhitungkan kesalahan orang, menganiaya tanpa
dosa. Di tanah Jawa ini sebenarnya banyak yang bisa menandingi kesaktian anda,
akan tetapi semua adalah ahli Buddhi (ahli dalam peningkatan Kesadaran)
dan takut mendapat hukuman Dewata (Karmaphala). Tidak pantas disebut ahli
Buddhi (ahli dalam peningkatan Kesadaran) jika tingkah lakunya aniaya terhadap sesama menghukum tanpa dosa.
Apakah anda ini serupa dengan Aji Saka,
murid Ijajil (Ijajil : Dajjal ~ Buta Locaya menganggap Aji Saka adalah murid
Dajjal atau Iblis. Maksudnya tingkah
laku Aji Saka dulu-pun kurang patut manakala tinggal di tanah Jawa, sehingga disebut murid Ijajil atau
Dajjal atau Iblis : Damar Shashangka)? Aji Saka bertahta di tanah Jawa hanya tiga tahun lamanya lantas minggat dari
tanah Jawa, bahkan sumber air bening
yang ada di daerah Medhang ikut serta dibawa minggat (sumber air bening maksudnya adalah pengetahuan
asli Jawa : Damar Shashangka). Aji Saka
orang Hindhu (India), anda orang Arab, kelakuannya sama saja menganiaya sesama manusia, sama-sama membuat sulit mencari ‘sumber
air’ (coba anda artikan sendiri maksud
kata-kata Buta Locaya yang simbolik ini : Damar Shashangka). Anda menyebut diri Sunan seharusnya memiliki buddhi luhur
(Kesadaran yang mulia), bisa menciptakan keselamatan bagi sesama, akan tetapi kok tidak seperti itu, tingkah
laku anda inilah sesungguhnya yang
disebut tingkah laku Ijajil, tidak tahan digoda oleh anak kecil, gampang keluar amarahnya, Sunan apakah yang
semacam itu? Jika memang anda Sunan bagi
manusia, pastinya memiliki buddhi luhur (Kesadaran mulia). Anda telah
menganiaya sesama tanpa dosa, inilah
jalan anda menuju celaka, anda telah menciptakan neraka jahanam bagi
diri sendiri (maksudnya karma buruk). Jika nanti sudah jadi (neraka tersebut), kelak akan anda tempati sendiri. Anda
akan mandi ditengah air kawah yang panas
bergejolak (memetik buah perbuatan yang sangat menyengsarakan dalam kehidupan ini atau kelak setelah kelahiran
kembali). Lihatlah, saya ini adalah makhluk halus, berbeda alam dengan manusia, akan tetapi saya masih senantiasa
ingat untuk ikut andil mengusahakan keselamatan bagi manusia (makhluk
haluspun masih ingin mengumpulkan karma baik
demi peningkatan kesadaran pribadinya sendiri : Damar Shashangka). Sudahlah, sekarang semua yang
terlanjur rusak tolong kembalikan seperti semula. Mulai dari sungai yang
kering hingga seluruh tempat yang terlanggar aliran sungai tolong kembalikan seperti sebelumnya. Jika anda tidak berkenan,
seluruh orang Jawa yang telah masuk
Islam akan saya teluh biar mati semua, dan untuk keperluan itu saya akan meminta bantuan pasukan dari Kangjeng
Ratu Ayu Anginangin yang bertahta di
laut selatan!!”
Begitu mendengar kemarahan Buta Locaya, Sunan Benang terketuk hatinya dan
menyadari
kesalahannya. Sadar telah membuat bermacam-macam kesusahan dalam jangka panjang, sadar telah menganiaya sesama
tanpa dosa yang setimpal, dia lantas berkata : “Buta Locaya! Aku ini
seorang Sunan, yang tidak bisa menarik kutuk yang sudah terlanjur aku ucapkan, tapi dengarkan, kelak setelah lima ratus
tahun lagi, sungai ini akan kembali seperti semula!” (Sekali lagi coba anda
artikan ucapan Sunan Benang yang
simbolik ini : Damar Shashangka)
Mendengar ucapan Sunan
Benang, Buta Locaya bertambah marah, lantas berkata kepada Sunan Benang :
“Tidak bisa! Harus anda kembalikan saat ini juga! Jika tidak mampu anda saya tawan!!”
Berkatalah Sunan Benang
kepada Buta Locaya : “Sudah jangan membantah lagi! Aku hendak pergi menuju
ke arah timur, mulai saat ini buah dari pohon Sambi (Kusambi) ini aku namakan buah CACIL, sebagai pengingat
peristiwa debat seperti anak kecil, antara demit (makhluk halus) dan manusia
pe-CICIL-an (yang arogan) yang tengah berebut
benar tentang kerusakan sebuah wilayah yang menyebabkan kesusahan manusia dan makhluk halus. Aku mohonkan kepada Rabbana
(Tuhanku), semoga buah pohon Sambi
berwarna dua macam, daging buahnya jadilah kecut, biji buahnya jadilah keluar minyak. Kecut perlambang dari kekecutan wajah,
wajah sang demit (makhluk halus) dan wajah
manusia yang tengah berdebat dengannya, LENGA (minyak) perlambang dari makhluk halus MLELENG JALMA LUNGA (Melotot marah
ditingal pergi oleh manusia). Kelak
dikemudian hari agar bisa dijadikan pengingat peristiwa, dimana aku pernah berdebat denganmu. Mulai sekarang tempat dimana
kita bertemu ini, disebelah utara sana aku
namakan Desa Singkal, sedangkan disini aku namakan Desa Sumbre. Dan tempat dimana anak buahmu menyingkir disebelah selatan sana
aku namakan Desa Kawanguran.”
Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Sunan Benang lantas menuju ke
arah timur sungai. Hingga sekarang didaerah kota Gedhah terdapat desa yang
bernama Kawanguran, Sumbre dan Singkal. Kawanguran artinya ketahuan, Singkal
artinya terhalang lantas mendapatkan cara untuk mengelak.
Buta Locaya terus mengejar Sunan Benang. Perjalanan Sunan Benang sampai
di desa Bogem, ditempat itu Sunan Benang mendapati sebuah arca berbentuk
kuda, bertubuh satu berkepala dua, terletak dibawah pohon Trenggulun (Trengguli
~ Cassia fistula L. Tinggi bisa mencapai lima belas meter, berasal dari India :
Damar Shashangka). Pohon Trenggulun tadi banyak ditumbuhi buah, hingga beberapa jatuh
berserakan ke tanah. Sunan Benang memegang kampak, serta merta arca kuda kepalanya
dihancurkan!
Melihat perbuatan Saunan Benang menghancurkan kepala arca kuda, Buta
Locaya semakin marah dan lantas berkata : “Arca ini buatan Prabhu Jayabaya,
untuk menyimbolkan keadaan wanita Jawa nanti dijaman kedatangan bangsa Srenggi,
siapa saja yang melihat arca ini, akan ingat kepada keadaan wanita Jawa nanti!”
Sunan Benang
menjawab, “Kamu itu makhluk halus, berani sekali mendebat manusia, itu namanya makhluk halus yang sok!”
Buta Locaya berkata, “
Apa bedanya, anda Sunan saya Raja!!”
Sunan Benang tak menghiraukan bahkan berkata, “ Buah pohon Trenggulun ini
mulai sekarang aku beri nama KENTHOS, agar bisa dijadikan pengingat,
bahwasanya aku pernah bertengkar dengan seorang makhluk halus KEMENTHUS (yang sok)
tentang sebuah arca!”
Ki Kalamwadi berkata, “ Hingga hari ini, buah pohon Trenggulun di Jawa namanya kenthos, berawal
dari sabda Sunan Benang, begitu menurut Raden Budi Sukardi, guruku.”
Sunan Benang melanjutkan
perjalanannya ke arah utara, berbarengan dengan masuknya waktu shalat
Ashar. Sunan Benang berkeinginan untuk shalat. Diluar desa didapati sebuah sumur
akan tetapi tanpa penimba. Sumur digulingkan, sehingga Sunan Benang kemudian, bisa
mengambil air untuk dibuat berwudlu. (Coba anda artikan sendiri simbolisasi dari cerita
Sunan Benang menggulingkan sumur ini : Damar Shashangka).
Ki Kalamwadi kembali
berkata, “ Hingga hari ini, sumur tadi dikenal dengan nama Sumur Gumuling (Sumur
yang digulingkan), Sunan Benang yang menggulingkannya, itu cerita Raden Budi guruku,
tidak tahu apakah benar atau tidak.”
Seusai shalat Sunana Benang meneruskan perjalanannya, sesampainya di desa
Nyahen, disana
terdapat arca raksasa perempuan, berdiri dibawah pohon Dhadhap (Dhadhap Srep ~ Erythrina orientalis, tinggi bisa
mencapai dua puluh dua meter : Damar Shashangka). Saat itu pohon Dhadhap
tersebut tengah berbunga lebat. Banyak bunga yang
jatuh berguguran dikanan kiri arca tadi. Bahkan terlihat merah tubuh arca
tersebut karena banyak juga bunga
yang jatuh ke badannya. Melihat sosok arca sebegitu besar, Sunan Benang sempat keheranan. Arca raksasa
tersebut menghadap ke arah barat, tinggi enam belas tapak kaki manusia dewasa, lingkar badannya sepuluh telapak
kaki manusia dewasa. Jikalau hendak
dipindahkan, seandainya diangkat oleh delapan ratus orang sekalipun tidak akan kuat, kecuali jika
menggunakan bantuan peralatan. Bahu kanan arca tadi dihancurkan oleh Sunan Benang, dahinya dilobangi.
Buta Locaya melihat Sunan Benang kembali merusak arca,marah dan berkata :
“Jelas anda memang orang kurang kerjaan, arca raksasa sebagus itu dirusak
tanpa alasan yang jelas. Sekarang jadi buruk wujudnya, padahal arca itu juga buatan
Prabhu Jayabhaya, lantas apa hasilnya anda merusaknya?”
Sunan Benang menjawab,
“Aku rusak arca ini agar supaya tidak diagungagungkan oleh orang
banyak. Agar jangan pula diberikan sesajian dan diberi asap kemenyan. Manusia yang
memuja berhala itu namanya manusia kafir dan kufur, lahir batin telah tersesat!”
Buta Locaya berkata, “Orang Jawa-pun tahu,
bahwa ini hanyalah sebuah arca batu. Yang
tidak memiliki daya kekuatan apapun dan tidak punya kuasa, bukan Hyang Lattawalhujwa (maksudnya tidak dipuja sebagaimana
manusia Arab dulu memuja patung Latta
dan Hujwa). Mengapa di layani dengan diberi asap kemenyan berikut diberi sesajian, agar supaya semua makhluk halus yang
liar (disini maksudnya Ruh-Ruh manusia mati yang tersesat dan belum
menemukan jalan, bukan makhluk halus sejenis Buta Locaya atau seluruh pasukannya yang telah lahir menjadi Jin/Asura :
Damar Shashangka) tidak bertempat
tinggal sembarangan diatas tanah dan didalam pohon. Sebab tanah dan pepohonan
bisa menghasilkan sesuatu. Dan hasil dari keduanya sangat bermanfaat bagi
kehidupan manusia. Oleh karenanya makkhluk halus yang semacam ini lantas
diberikan tempat baru pada sebuah
arca. Jika arca telah anda rusak, hendak diusir kemanakah mereka semua? Sudah lumrah brekasakan (makhluk
halus liar/ Ruh-Ruh orang mati yang masih
terikat dengan alam dunia) bertempat tingal disebuah gua atau disebuah arca,
serta makanan mereka adalah bau-bauan
yang wangi. Makhluk halus semacam ini, jika sudah mencium bau wewangian, badannya akan terasa
segar. Lebih senang lagi jika bisa tinggal didalam sebuah arca utuh yang diletakkan ditempat yang sepi dan sejuk
atau dibawah pohon besar. Mereka
sadar mereka tidak bisa hidup berbaur dengan manusia. Sekarang mereka telah tinggal didalam arca ini tapi
kemudian malah anda usik, bukankah berarti anda memang orang yang jahil dan suka menganiaya kepada sesama makhluk.
Makhluk yang sama-sama diciptakan
oleh Tuhan? Mendingan orang Jawa menghargai sebuah arca yang memang pantas jika
memiliki Kesadaran dan nyawa, sedangkan bangsa anda orang Arab, bukankah juga menghargai Kakbatullah, yang
wujudnya juga dari batu, apakah itu juga
tidak sesat?!”
Sunan Benang menjawab, “Ka’batullah itu yang membuat Nabi Ibrahim.
Disanalah pusat dunia. Diberi tugu dari batu dan disujudi oleh seluruh manusia.
Siapa saja yang sujud kepada Kakbatullah, Gusti Allah akan memberikan ampunan atas segala
dosadosanya selama hidup di alam pengembaraan (alam dunia) ini!”
Buta Locaya berkata, “Apa buktinya telah mendapatkan kasih Tuhan? Apa buktinya mendapatkan
ampunan Tuhan dari segala dosa? Apakah mendapatkan tanda tangan dari Tuhan Yang
Maha Agung berikut stempel berwarna merah sebagai tanda bukti sah?”
Sunan Benang menjawab,
“Yang disebutkan dalam kitab suciku, nanti jika telah meninggal akan
mendapatkan kemuliaan.”
Buta Locaya menjawab sembari menggeram, “Mana mungkin nanti jikalau telah
meninggal akan tahu, sedangkan pengetahuan akan kemuliaan didunia ini
saja sudah tidak utuh, sudah tersesat menyembah tugu dari batu. Jika memang
benar-benar berniat menyembah
cadas, lebih baik naik ke atas gunung Kelud daripada jauh-jauh, disana banyak
batu yang besar-besar asli buatan Tuhan, tercipta semenjak dahulu seperti ituberasal dari sabda Kun (Jadilah), malah itu lebih
baik di buat pusat bersujud. Sesungguhnya
menurut kehendak Yang Maha Kuasa, seluruh manusia seyogyanya mengetahui kepada Baitullah (Rumah Tuhan)-nya
sendiri, tubuh manusia inilah sesunguhnya
Baitullah (Rumah Tuhan), sungguh-sungguh buatan Yang Maha Kuasa sendiri. Tempat inilah yang harus dijaga
betul-betul. Siapa saja yang tahu darimana asal badan ini, siapa saja yang tahu
darimana asal Buddhi dan hawa nafsu ini, patutlah dia dijadikan suri tauladan bagi sesama. Walaupun
siang malam menjalankan shalat, akan tetapi
apabila masih gelap pengetahuannya tentang diri sendiri, masih tersesat pengetahuannya tentang yang sejati, masih
mensujudi tugu batu, tugu batu buatan Nabi (sungguh masih sesat manusia yang demikian itu). Bukankah Nabi tiu
sendiri adalah manusia juga kekasih
Guati Allah, diberi anugerah dengan kecerdasan dan ketajaman ingatan, terang kesadarannya, tahu hal yang belum
terjadi. Anda meyakini tulisan peninggalan mereka, orang Jawa meyakini sastra
peninggalan leluhur, sama-sama meyakini
kabar masa lalu. Akan tetapi lebih baik meyakini sastra berisi pekabaran masa lalu dari leluhur sendiri yang peninggalannya
masih bisa dilihat langsung disini. Orang Jawa yang meyakini tulisan pekabaran masa lalu dari Arab, belum
menyatakan sendiri keberadaannya di
sana, apakah nyata atau bohong, hanya membenarkan ucapan orang yang membawa kabar semata. Maka menurut hamba, anda
datang ke Jawa hanya menjual bualan,
menjual bualan bahwa negara Mekkah adalah yang termulia, padahal saya tahu sendiri bagaimana keberadaan negara
Mekkah itu, tanahnya beraura panas, jarang air, tanaman apapun tidak bisa
tumbuh, udaranya juga panas dan jarang hujan. Bagi akal kebanyakan manusia, tanah disana itu adalah tanah kutukan,
banyak manusia menjual manusia
sebagai budak dan dipakai sebagai pembantu. Anda benar-benar manusia durhaka, lebih baik saya persilakan pergi
dari tanah Jawa, di Jawa ini adalah tanah
suci dan mulia, dingin dan panasnya cukup, penuh kekayaan didalam tanah dan
air, apa yang ditanam bisa tumbuh,
yang menghuni baik lelaki maupun wanita mempunyai moral yang bagus dan cantik,
berbicara-pun lemah lembut dan sopan. Jika anda ingin melihat pusat dunia, dengarkan sesungguhnya tempat
yang kita injak inilah pusat dunia. Sekarang
pertimbangkan kata-kata saya tadi, jika ada yang salah, pukul saya sekarang juga! Semua yang anda ajarkan banyak yang kurang
tepat, pertanda kurang kecerdasan, kurang
memahami pengetahuan Kesadaran, suka menganiaya sesama. Yang membuat arca ini
adalah Prabhu Jayabhaya, kesaktian beliau melebihi kesaktian anda. Apakah anda mampu meramal masa depan setepat beliau?
Sudahlah, saya persilakan pergi saja dari tanah Kedhiri. Jika tidak juga mau
pergi, saya akan mengundang adik hamba yang ada di gunung Kelud untuk
mengeroyok anda, dan akan saya bawa ke kawah gunung Kelud, apakah anda tidak takut jika nanti tidak
bisa keluar dari alam siluman dan menjadi
penghuni batu seperti saya? Atau mari ke Selabale saja menjadi murid saya.”
Sunan Benang
berkata,”Tidak akan mempercayai kata-katamu wahai setan brekasakan!” Buta
Locaya menjawab, “Walaupun saya dhemit (makhluk halus), akan tetapi saya dhemit
berpangkat Raja, mulia dan berumur panjang.
Anda belum tentu semulia hamba. Niat anda
selalu kotor, suka mengganggu dan menganiaya, apakah mungkin anda datang ke
tanah Jawa ini dikarenakan anda di tanah Arab adalah orang hina? Jika anda
manusia mulia, tentunya tidak usah
pergi jauh jauh keluar dari tanah Arab. Mungkin anda minggat karena melakukan sebuah kesalahan fatal.
Tandanya sampai di tanah Jawa-pun masih juga usil, suka menghakimi adat orang
lain, suka menghakimi agama orang lain, merusak segala peninggalan luhur
yang bagus-bagus, merusak agama leluhur kuno. Sungguh
Raja (Majalengka) berhak menangkap anda dan membuang anda ke Menadhu (Menado)!”
Sunan Benang
berkata,”Pohon Dhadhap ini bunganya aku berinama Celung, buahnya aku beri nama Kledhung, sebab aku telah
Kecelung (tercuri) nalar (kepintaran)- ku
dan Keledhung (terbantah) ucapanku. Ini semua sebagai pengingat bahwa aku
pernah berdebat dengan Raja Dhemit,
kalah pengetahuan dan kalah kepintaran.”
Oleh karenanya terkenal hingga sekarang, buah Dhadhap namanya Kledhung sedangkan bunganya
Celung.
Sunan Benang lantas berpamitan,” Sudahlah kalau begitu aku akan pulang ke
Benang.”
Buta Locaya menjawab dengan nada marah,”Benar, segeralah pergi, disini
anda hanya akan membuat tanah menjadi angker, jika anda berlama-lama disini
hanya akan menambah kesusahan, menyebabkan susah tumbuh padi, menambahi panas,
membuat susah air!!”
Sunan Benang
lantas pergi, sedangkan Buta Locaya beserta pasukannya juga kemudian balik pulang.
Lain yang diceritakan,
yaitu dinegara Majalengka, pada suatu hari, Sang Prabhu Brawijaya duduk
disinggahsana dan dihadap para pejabat. Sang Patih melaporkan bahwa telah mendapatkan surat khusus dari Tumenggung
Kertasana. Isi surat melaporkan bahwa daerah
Kertasana sungainya mengering. Sungai yang mengalir dari arah Kedhiri aliran airnya kini menyimpang ke timur. Sebagian
isi surat melaporkan seperti ini : Di sebelah utara barat Kedhiri, banyak desa
rusak, semua itu disebabkan karena kutukan ulama dari tanah Arab, bernama Sunan Benang.
Mendengar laporan Patih, Sang Prabhu bangkit
murkanya. Sang Patih lantas diutus ke
Kertasana, untuk menyatakan sendiri keadaan disana, melihat kondisi manusia berikut hasil bumi yang terlanggar aliran air.
Bahkan mewngutus beberapa pejabat untuk memanggil Sunan Benang.
Singkat cerita, seusai
Sang Patih melihat sendiri kondisi Kertasana, segera melaporkan semuanya
kepada Sang Prabhu. Sedangkan utusan yang diutus ke Tuban juga sudah tiba kembali,
melaporkan bahwa tidak mendapatkan hasil, sebab Sunan Benang telah pergi tidak
diketahui kemana.
Mendengar seluruh
pelaporan para bawahannya, Sang Prabh Brawijaya semakin murka! Beliau
menyatakan bahwa ternyata ulama dari Arab tidak ada yang tulus hatinya! Sang Prabhu lantas memerintahkan
Patih agar mengusir seluruh orang Arab yang tinggal di Jawa, sebab telah
membuat kesusahan negara! Hanya yang ada di Ngampeldhenta dan Demak saja yang masih
diperbolehkan tinggal di Jawa dan diijinkan mensiarkan agama Islam. Selain dikedua tempat
itu, semua harus dipulangkan ke asalnya! Jika menolak dipulangkan maka
diperintahkan untuk dihancurkan saja! Sang Patih berkata, “ Gusti, benar apa
yang paduka katakan. Sudah tiga tahun berselang penguasa Giripura (Giri Kedhaton atau Sunan
Giri) tidak pernah menghadap dan tidak pernah memberikan upeti sebagai tanda takluk. Jelas mereka hendak
merencanakan untuk mendirikan negara sendiri.
Tidak sadar telah makan dan minum hanya numpang di tanah Jawa! Bahkan nama santri Giri (Sunan Giri) kini telah terkenal
mengalahkan kebesaran nama paduka. Bahkan
kini mengambil gelar baru Sunan Ainulyaqin. Sunan berarti Kesadaran, Ainul berarti Makrifat atau Mengetahui akan Tuhan dan
Yaqin berarti benar-benar mantap lahir
batin. Paduka bisa mengartikannya sendiri. Dalam bahasaa Jawa dia mengambil gelar
Prabhu Satmata (Bermata Enam). Ini adalah gelar yang sangat tinggi, hampir menyerupai gelar Yang Maha Kuasa sendiri (Hyang
Bathara Shiwa), Satmata berarti tahu segalanya.
Dialam dunia, tidak ada lagi sosok yang menggunakan gelar Sang Prabhu Satmata
kecuali dulu Bathara Wishnu manakala turun ke dunia dan menjelma sebagai Raja di Medhang Kasapta.”
Mendengar kata-kata Sang Patih, Sang Prabhu
segera memerintahkan untuk menyerang Giri. Berangkatlah pasukan tempur
Majapahit dibawah pimpinan Patih langsung menuju Giri. Perang pun terjadi.
Orang Giri ketakutan dan tidak mampu menahan serangan pasukan tempur Majapahit.
Sunan Giri lari ke Benang meminta bantuan
pasukan, setelah mendapatkan pasukan lantas kembali menghadapi pasukan Majalengka. Perang sangat ramai. Waktu itu hampir
separuh orang Jawa sudah memeluk agama
Islam. Mereka yang tinggal dipesisir utara sudah hampir semua memeluk agama Islam. Sedangkan orang Jawa yang tinggal di selatan
masih tetap beragama Buda (Shiwa Buddha).
Sunan Benang sudah menyadari kesalahannya sehingga tidak berani menghadap ke Majalengka. Lantas bersama Sunan Giri
melarikan diri ke Demak. Sesampainya di Demak segera mengajak Adipati Demak untuk menggempur Majalengka. Begini
ucapan Sunan Benang kepada Adipati
Demak : “Ketahuilah bahwa saat ini sudah tiba masanya kehancuran Majalengka. Sudah seratus tiga tahun
berkuasa di nusantara. Dari penglihatan
batinku, yang sanggup menjadi Raja tanah Jawa, tiada lain kecuali dirimu.
Saranku, hancurkan Majalengka, tapi dengan cara halus, jangan sampai menyolok
mata. Nanti pada saat garebeg Mulud
(peringatan Kelahiran Nabi Muhammad) di Ngampeldhenta (Surabaya), bawalah banyak tentara Demak dengan
persenjataan perang lengkap untuk
menghadap ke Majapahit (seusai dari Ngampeldhenta). Ingat, 1. Pakailah cara halus, 2. Undanglah seluruh bupati yang sudah
memeluk agama Islam untuk berkumpul
di Demak dengan dalih hendak membangun masjid Demak. Jika nanti mereka sudah berkumpul, apapun perintahmu pasti
dituruti.”
Adipati Demak menjawab,
“Saya takut merusak Negara Majalengka, yang berarti memusuhi ayah dan raja
sendiri, bahkan beliau juga telah memberikan anugerah kenikmatan duniawi
kepada saya sebagai seorang Adipati. Lantas mengapa balasan saya seperti itu? Bukankah
sudah pantas jika saya membalasnya dengan kesetiaan dan kesungguhan? Wasiat dari
eyang Sunan Ngampelgadhing (Sunan Ampel), tidak diperbolehkan saya memusuhi
ayahanda sendiri, walaupun beliau beragama Buda tapi beliaulah yang menjadi
lantaran saya terlahir menjadi manusia didunia ini. Walaupun orang Buda dan kafir
sekalipun, jika dia adalah ayahanda sendiri tetap haruslah dihormati. Apalagi beliau
tidak memiliki kesalahan apapun.”
Sunan Benang berkata
lagi, ”Walaupun harus melawan ayahanda atau Raja, tidak ada salahnya! Sebab dia orang kafir! Jika
menghancurkan orang Buda kafir kawak (kawak
: totok), maka imbalanmu adalah surga! Eyang Sunan Ampel itu hanya santri kecil, walau bercukur rambut tapi pengetahuan
beliau masih kurang luas, hanya pantas menjadi
ulama biasa. Berapalah pengetahuan agama Sunan Ngampelgadhing (Sunan Ampel) keturunan orang Champa itu, dibandingkan
dengan diriku, Sayid Kramat, Sunan Benang yang terkenal dipenjuru bumi,
keturunan langsung Rasul (Nabi Muhammad) dan menjadi panutan orang Islam Jawa. Jikalau dirimu berani menghancurkan
ayahandamu, walau seandainya memang
berdosa, tapi hanya berdosa kepada satu orang dan orang tersebut orang kafir. Jikalau sampai kamu bisa
mengalahkan ayahandamu, seluruh orang Jawa
akan memeluk agama Islam. Yang semacam itu, berapa lagi keuntunganmu mendapatkan pahala dari Tuhan, sungguh tak
terhitung lagi! Tak terbilang kasih Hyang Maha Kuasa yang akan kamu dapatkan!
Dengarkan, sesungguhnya ayahandamu telah menyia-nyiakan dirimu. Tandanya dirimu diberikan nama Babah, itu tidak
benar dan sangat memperhinakan
dirimu. Maksud ayahmu memberikan nama Babah sesungguhnya berarti Bah mati Bah urip (Biar mau mati kek biar
mau hidup ~ Bah : Biar. Sunan Benaang
mencoba memelintir arti nama Babah : Damar Shashangka). Ibumu dibuang diberikan kepada Arya Damar, Bupati di Palembang.
Padahal Arya Damar adalah keturunan
Raksasa (maksudnya ibu Arya Damar, yaitu Ni Endang Sasmitapura dulu adalah penganut Tantra Bhairawa yang melakukan
ritual dengan memakan mayat dan meminum
darah manusia, makanya dalam Babad disebut Raksasa : Damar Shashangka). Kelakuan ayahmu itu namanya menyakiti cinta ibumu.
Sungguh ayahandamu tidak baik hatinya.
Oleh karenanya, balaslah secara halus, maksudnya jangan menyolok mata, hisap darahnya dan kunyah tulangnya secara diam-diam!”
Sunan Giri ikut bicara,”Aku sendiri tidak mempunyai salah juga diperangi
oleh ayahandamu, dituduh hendak mendirikan negara, disebabkan karena aku tidak
menghadap ke Majalengka. Aku dengar sesumbar Patih Majalengka, jika aku
tertangkap akan dikepang ramputkui seperti anak kecil dan disuruh memandikan anjing!
Banyak orang china yang datang ke Jawa, dan di daerah Giri semua aku Islam-kan,
sebab menurut ujar kitab suci, jika meng-Islam-kan orang kafir, balasannya
kelak adalah surga. Oleh karenanya
banyak orang china yang aku Islam-kan, dan aku anggap keluarga sendiri. Kedatanganku kemari hanya meminta
perlindungan, aku takut kepada Patih Majalengka sedangkan ayahandamu sangat
benci kepada para santri yang suka memuji dan berdzikir seperti aku.
Katanya seperti orang sakit ayan orang berdzikir dengan menggerakkan kepala kekiri dan kekanan. Jika kamu tidak angkat senjata,
pasti akan habis agama Rasul Nabi
(Islam) di Jawa!”
Sang Adipati Demak
menjawab,” Ayahanda menyerang Giri itu sudah benar, jika ada seorang penguasa daerah, tidak tunduk
kepada Raja sebagai penguasa tertinggi, sudah
semestinya diserang bahkan wajib dihukum mati. Sebab penguasa semacam itu tidak menyadari telah numpang hidup di tanah
Jawa.”
Sunan Benang berkata
lagi, “Jikalau tidak kamu rebut sekarang dan kamu menunggu ayahandamu
turun tahta, jelas tahta Majapahit tidak akan jatuh kepadamu. Pasti akan
diberikan kepada Adipati Panaraga (Ponorogo ~ yaitu Adipati Bathara Katong :
Damar Shashangka), sebab dia terbilang putra tua (maksudnya tegas dan
berwibawa), atau diberikan kepada putra menantu, yaitu Ki Andayaningrat (Adipati
Andayaningrat ~ yang disebut-sebut dalam Hikayat Putri Gunung Ledang dan yang pernah
bertempur dengan Hang Tuah. Cuma ada kesalahan dalam catatan Hikayat dari Malaka
tersebut. Saat Hang Tuah ke Jawa, Majapahit sudah hancur dan Adipati
Andayaningrat-lah yang dianggap sebagai pengganti Prabhu Brawijaya karena
memang dia-lah yang berhak mewarisi tahta Majapahit. Jadi sesungguhnya Hang
Tuah tidak ke Trowulan, Mojokerto, melainkan ke Pengging di
sekitar Surakarta sekarang. : Damar Shashangka) yang ada di Pengging. Kamu terbilang putra yang paling
muda, jadi tidak berhak menggantikan sebagai
Raja. Mumpung sekarang kesempatan terbuka, dan masalah Giri yang menjadi alasan
bagi kamu untuk menyerang Majalengka. Walaupun harus mati saat bertempur dengan orang kafir, matimu adalah dijalan
Sabilullah (dijalan Allah), kematianmu tidak sis-sia, kelak akan mendapatkan surga yang mulia. Sudah benar bagi orang
Islam jika terbunuh oleh orang kafir
karena membela agamanya. Dan pula sudah benar manusia hidup didunia mencari kemuliaan duniawi, mencari
derajat yang paling tinggi, jikalau manusia
hidup tidak memahami akan tujuan hidupnya dengan jelas, maka belum benar dia hidup. Sudah sewajarnya bagi manusia
menginginkan kekuasaan dan ingin memiliki kekuatan, yaitu menjadi seorang Raja. Sebab Raja adalah Khalifah, wakil
Hyang Widdhi. Apa yang kamu inginkan
akan terpenuhi jika kamu menjadi Khalifah. Sudah menjadi suratan takdirmu, kamu bakal menjadi Raja di tanah
Jawa, menggantikan kedudukan ayahandamu.
Tapi semua harus menggunakan usaha lahir yaitu dengan cara merebutnya melalui
peperangan. Jikalau dirimu tidak mau menjalankan, pastilah anugerah Gusti Allah yang hendak diberikan kepada dirimu akan
diambil kembali oleh-Nya. Itu namanya manusia
yang menolak anugerah Gusti Allah. Diriku hanya sekedar mendukung, sebab diriku sudah tahu semua apa yang bakal terjadi
nanti, bagaikan aku melihat dengan semprong
(kaca yang dipergunakan untuk pelita jaman dulu) yang benar-benar berlobang begitulah aku melihat secara gaib kejadian yang
bakal terjadi nanti. Dirimulah yang mendapatkan
wahyu Tuhan, akan menjadi Raja di tanah Jawa, sebagai cikal bakal tersebarnya agama Suci (Islam) di Jawa. Bahkan aku
yang akan meruwat segala halanganmu
saat menjadi Raja nanti, aku yang akan memberikan restu agar kamu menjadi
Raja beserta keturunanmu selama-lamanya.” Banyak lagi kata-kata Sunan Benang, membujuk Adipati Demak agar terbakar
hatinya, dan mau angkat senjata menyerang Majalengka. Bahkan ditambah
dengan cerita tentang seorang Nabi, yang berani
melawan ayahnya yang kafir, ujung-ujungnya juga menemukan kesejahteraan (Nabi Ibrahim yang melawan ayahnya : Damar
Shashangka).
Adipati Demak berkata,
“Jikalau demikian kehendak paduka, saya hanya sekedar menjalani, paduka yang
memegang kendali.”
Sunan Benang berkata
lagi, “Sungguh seperti itulah yang aku kehendaki darimu. Sekarang dirimu sudah sepakat. Untuk itu
sekarang kirimkan surat kepada Adipati Terung
(adik tiri Adipati Demak yang berkedudukan disekitar ibukota Majapahit: Damar Shashangka), akan tetapi pakailah kata-kata yang
halus tersamar, intinya tulislah apakah dia berat kepada Raja Majapahit ataukah kepada saudara seibu yang juga
se-agama. Jikalau adik (tiri)-mu
sudah mendukungmu, sangat gampang untuk menjebol Majalengka. Didalam keraton
Majapahit saat ini siapa lagi yang diandalkan sebagai panglima perang jikalau bukan Kusen (Adipati Terung atau nama
aslinya Kin-San : Damar Shashangka). Si Gugur (maksudnya Raden Gugur, yaitu putra bungsu Prabhu Brawijaya dengan
putri Champa yang sudah resmi diangkat sebagai permaisuri. Putri sulung
dinikahi Adipati Andayaningrat dan tinggal di Pengging, putra kedua Raden Lembu
Peteng berkedudukan di Madura, yang
bungsu Raden Gugur masih didalam keraton. Raden Gugur inilah kelak dikenal sebagai Sunan Lawu, penguasa Gunung Lawu
yang terkenal hingga sekarang. : Damar Shashangka) masih kecil, mana
mungkin dia berani maju perang. Sang Patih sudah
tua, dipukul sekali sudah mati. Jika Kusen mendukungmu, siapa lagi sekarang ini
yang bisa melawanmu di ibu kota
Majapahit?”
Adipati Demak lantas
mengirimkan surat ke Terung, tidak berapa lama berselang utusan telah kembali,
sudah diterima surat balasan dari Adipati Terung, isinya bersedia membantu perang. Surat
diberikan kepada Sunan Benang, membuat senang hatinya. Sunan Benang lantas
memerintahkan kepada Adipati Demak, agar memberitahukan kepada semua Bupati dan
semua Sunan agar datang ke Demak dengan dalih hendak membangun masjid, dan
agar diberitahu bahwa Sunan Benang sudah hadir di Demak.
Singkat cerita, tidak
berapa lama para Sunan dan para Bupati telah berdatangan semua. Lantas berkumpul
dan membangun masjid. Setelah masjid selesai dibangun, lantas dipergunakan pertama kali
untuk shalat. Seusai shalat, pintu masjid ditutup, seluruh yang hadir (para Sunan dan
Bupati saja) diberitahu oleh Sunan Benang bahwasanya Adipati Demak hendak
dikukuhkan sebagai Raja. Dan kemudian hendak menyerang Majapahit. Jika semua setuju, maka
rencana akan segera digulirkan serta tidak menunggu waktu lama lagi. Seluruh Sunan
dan Bupati semua menyetujui, hanya seorang yang tidak menyetujui, yaitu Syeh
Siti Jenar. Sunan Benang murka, Syeh Siti Jenar dibunuh. Yang diperintahkan membunuh
adalah Sunan Giri. Syeh Siti Jenar dijerat lehernya hingga tewas. Sebelum Syeh Siti
Jenar benar-benar meninggal, dia sempat meninggalkan pesan : “Ingat-ingatlah wahai
seluruh ulama Giri, kalian tidak akan aku balas kelak diakherat, namun akan aku balas
didunia ini sekarang. Kelak jika ada Raja Jawa yang digandeng oleh orang tua, pada saat itulah leher kalian
ganti aku jerat.” Sunan Giri menjawab, “Nanti
aku berani, sekarang-pun aku berani. Tidak akan mundur diriku!”. Setelah sepakat semua, lantas mematangkan rencana yang
sudah disepakati. Sang Adipati Demak lantas
dikukuhkan sebagai Raja, menguasai tanah Jawa, bergelar Senapati Jimbuningrat. Patihnya berasal dari mancanegara bergelar Patih
Mangkurat. Keesokan harinya Senapati Jimbuningrat
sudah mempersiapkan bala tentara berikut seluruh persenjataan perang, lantas berangkat menuju Majapahit diiringi oleh
para Sunan dan para Bupati. Rombongan
yang berangkat mirip dengan rombongan memperingati grebeg Maulud (Peringatan Kelahiran Nabi). Seluruh prajurid
tidak memahami apa maksud keberangkatan
mereka, kecuali para Tumenggung, para Sunan serta para Ulama. Sunan Benang dan Sunan Giri tidak ikut dalam rombongan
ke Majapahit, mereka merasa sudah tua
dan hendak membantu dengan doa dari dalam masjid saja. Mereka berdua memberkati rombongan tersebut. Jadi, hanya para
Sunan dan para Bupati saja yang mengiringi
Adipati Bintara (Adipati Demak/Senapati Jimbuningrat). Tidak diceritakan dalam perjalanan.
Berganti kisah yang ada
di Majapahit. Seusai dari Giri Sang Patih melaporkan tentang hasil penyerbuan ke Giri. Yang menjadi
senapati pasukan Giri adalah orang China
yang sudah memeluk agama Islam, bergelar Secasena. Dia maju kegaris depan mengamuk dengan senjata terhunus, beserta seluruh
bala tentaranya sebanyak tiga ratus orang.
Semuanya pandai bermain silat, berkumis tipis berkepala gundul dan memakai sorban bagaikan seorang haji. Mereka bertempur
lincah bagaikan belalang. Tentara Majapahit
merangsak maju, tentara Giri tidak mampu menahan serangan tentara Majapahit. Senapati Secasena tewas, sedangkan
tentara Giri yang terdiri dari orang China melarikan diri kocar-kacir. Banyak yang mengungsi ke hutan dan
pegunungan, sebagian ada yang
melarikan diri menyeberang laut, melarikan diri ke Benang. Terus dikejar oleh prajurid tempur Majapahit. Sunan Giri dan Sunan
Benang melarikan diri dalam satu kapal
menyeberang lautan, mungkin saja melarikan diri ke Arab dan tidak berniat kembali ke Jawa. Sang Prabhu lantas mengutus
Patih untuk mengirimkan utusan ke Demak,
guna memberikan perintah kepada Adipati Demak agar supaya jika ada ulama dari Giri dan dari Benang melarikan diri kesana,
segera ditangkap dan dihaturkan kepada negara. Kesalahan santri dari
Benang adalah, telah melakukan perusakan didaerah Kertasana sedangkan kesalahan santri Giri adalah, tidak mau menghadap
kepada Sang Prabhu dan berniat untuk
membangkang!
Sesampainya di Paseban
luar keraton, Sang Patih kemudian memanggil duta yang hendak diutus ke Demak.
Saat masih ada di Paseban luar keraton, bertepatan datang utusan Bupati Pathi,
memberikan surat khusus kepada Sang Patih. Surat lantas dibaca oleh Sang Patih. Isi
surat adalah demikian. Menak Tunjungpura yang berkuasa di Pathi memberikan laporan,
bahwasanya Adipati Demak, yaitu Babah Patah, sudah mengukuhkan diri sebagai
Raja Demak. Yang memberikan ijin dan restu adalah Sunan Benang dan Sunan Giri.
Seluruh para Bupati pesisir utara yang sudah memeluk Islam semua mendukung. Adipati
Demak mengambil gelar Senapati Jimbuningrat atau Sultan Syah ‘Alam Akbar
Sirullah Khalifaturrasul ‘Amirilmu’minin Tajudil ‘Abdulhamid Khaq atau Sultan Adi Surya
‘Alam Ing Bintara. Saat ini Babah Patah berikut pasukan Demak telah berangkat menuju
ibukota Majapahit, hendak menantang perang ayahandanya. Babah Patah lebih berat
kepada gurunya, dia menganggap enteng ayahandanya. Para Sunan dan para Bupati
banyak yang memberikan bantuan pasukan untuk menjebol Majapahit. Jumlah pasukan
Babah Patah kurang lebih tiga ribu prajurid dengan persenjataan perang
lengkap. Mohon segera dihaturkan kepada Sang Prabhu laporan ini. Surat dari Bupati Pathi
tertanggal 3 Mulud 1303 tahun Jimakir, Masa Ke-Sembilan Wuku Prangbakat (Tahun Jawa
dimulai pada Jumat Legi, 1 Suro 1555 Alip. Meneruskan tahun 1555 Saka dan
perhitungannya lantas diubah menjadi perhitungan tahun Hijriyyah atau menggunakan sistem Bulan.
Jika ada tahun Jawa 1303, maka ini adalah semacam perhitungan mundur mirip
dengan Sebelum Masehi pada tahun Masehi. : Damar Shashangka). Surat habis
dibaca, Kyai Patih benar-benar tak menyangka. Seketika gigi bergemeletukan,
menggeram, menggeleng-gelengkan kepala dan benar-benar tidak bisa mempercayainya. Wajahnya
tengadah menatap angkasa sembari menyebut nama Dewa Yang Maha Luhur. Dalam
hatinya benar-benar heran kepada kelakuan orang Islam yang tidak tahu budi baik
Sang Prabhu dan malah membalas dengan hal yang tidak sepatutnya. Segera Kyai Patih
menghadap Sang Prabu dan melaporkan isi surat yang baru diterimanya.
Mendengar laporan Patih, Sang Prabhu benar-benar terkejut. Seketika
terdiam kaku tak bisa bersuara. Bagaikan sebuah tugu batu yang mati. Dalam hati beliau
benar-benar tidak bisa memahami akan kemauan putranya dan kemauan para Sunan sehingga
mereka memiliki niatan
yang semacam itu. Sudah diberi kedudukan tapi balasannya malah sedemikian rupa, tega hendak merusak Majapahit.
Benar-benar Sang Prabhu tidak dapat memahami
apa yang menjadi latar belakang kemauan mereka sehingga putranya sendiri berikut para ulama hendak berniat menyerang
keraton Majapahit. Lama Sang Prabu merenung,
tetap juga tidak menemukan jawabannya, lahir dan batin sungguh tindakan mereka adalah tindakan yang tidak masuk akal sama
sekali. Hati Sang Prabu benar-benar terliputi
kegelapan, benar-benar kecewa dan sedih, kesedihan seorang Raja besar. Hati Sang Prabhu habis, seolah hati seekor kerbau yang
habis dimakan oleh kutu-kutu kecil. Setelah
berapa lama berselang, Sang Prabhu bertanya kepada Sang Patih, apa sebabnya
sehingga putranya sendiri berikut para ulama serta didukung para Bupati tega
hendak menyerang Majapahit dan tidak ingat sama sekali dengan kebaikan Sang
Prabhu?
Sang Patih memberikan
jawaban bahwasanya dirinya sendiri juga tidak mengerti latar belakangnya. Sunguh diluar nalar sehat.
Diberikan kebaikan malah membalas dengan
kejahatan. Umumnya manusia diberi kebaikan akan membalas dengan kebaikan
serupa. Ki Patih-pun ikut keheranan dan kecewa, heran pada orang Islam yang
memiliki kehendak yang tidak baik
semacam itu. Yang telah diiberi kebaikan malah membalas dengan kejahatan.
Sang Prabhu lantas
berkata kepada sang Patih, segala kejadian yang telah terlanjur ini sebenarnya
juga akibat kesalahan sang Raja sendiri, meremehkan agama yang sudah dipeluk secara turun
temurun oleh orang Jawa, serta terpikat oleh kata-kata Putri Champa, memberikan ijin
kepada para ulama untuk menyebarkan agama Islam secara mudah di Majapahit.
Begitu gelap batin Sang Raja sehingga keluarlah ucapan kutuk dari bibir beliau : Aku
memohon kepada Dewa Yang Maha Agung (Dewa segala dewa/Tuhan), semoga
terbalaskan kesedihan yang aku alamiini, semoga orang Islam Jawa kelak terbalik
dalam menjalankan agamanya, berubah menjadi orang berkuncir, karena tak
mengerti kebaikan, aku beri kebaikan balasannya malah keburukan!" (orang
berkucir maksudnya : manusia yang gampang mendua, gampang terpengaruh
duniawi, meremehkan spiritualitas, spiritualitas hanya dipakai kedok belaka. Spiritualitas
diperdagangkan, ditukar dengan materi. Berkucir adalah rambut yang dikepang kekiri dan
kekanan. Orang Islam Jawa kelak disisi lain bisa kelihatan alim tapi disisi lain sangat
materialistik. Seorang haji diam-diam merangkap rentenir, seorang kyai bisa berkorupsi,
tak ada rasa bersalah dan risih, semua dianggap wajar dan bisa ditebus dengan
tobat jika sudah puas dengan materi kelak). Sabda Raja Besar yang tengah
bersusah hati, diterima oleh Bathara (Tuhan), disaksikan oleh
jagad semesta, dengan tanda tiba-tiba terdengar suara bergemuruh diangkasa
bagaikan suara guntur. Semenjak itulah di Jawa mulai muncul beberapa jenis burung
bangau yang berkuncir bulu kepalanya. Para ulama dan Sunan semua mempunyai nama
rangkap bertolak belakang (maksudnya disatu sisi dia tampil sebagai sosok penuntun,
disisi lain diam-diam menimbun kekayaan dari spiritualitas yang diajarkan. Nama rangkap
bertolak belakang, disisi lain alim disisi lain masih terjerat kenikmatan duniawi), hingga sekarang banyak
contoh para ulama yang demikian itu (nama rangkap
bertolak belakang dan berkucir rambutnya).
Sang Prabhu meminta pendapat Sang Patih, mengenai datangnya musuh, yaitu
para santriyang hendak merebut kekuasaan, baiknya dilawan atau tidak? Sang Raja
merasakecewa dan heran bercampur satu, kecewa dan heran mengapa hanya
karena ingin memegang kekuasaan Majapahit, Adipati Demak memilih jalan pertumpahan
darah? Seandainya diminta dengan baik-baik, pasti juga akan diberikan karena
Sang Rajasudah sepuh.
Sang Patih menyarankan
agar melawan musuh yang datang. Sang Prabhu ragu karena merasa sangat malu
jika terdengar kabar beliau berperang memperebutkan tahta dengan putra sendiri,
oleh karenanya Sang Prabhu memerintahkan agar menghadang musuh tapi hindari
pertumpahan darah yang besar. Lantas Sang Prabhu memerintahkanjuga agar
memangil Adipati Pengging (Adipati Handayaningrat) dan Adipati Pranaraga
(Ponorogo ~ Adipati Bathara Katong) untuk memimpin pasukan, sebab Raden Gugur belum
saatnya untuk maju berperang. Selesai memberikan perintah Sang Prabhu berkehendak meloloskan
diri dari keraton menuju Bali, diiringkan oleh Sabdo Palon dan Naya Genggong.
Saat Sang Prabhu tengah memberikan perintah, pasukan Demak sudah tiba dan mengepung kota. Kepergian
Sang Prabhu sangat tergesa-gesa sekali.
Pasukan Demak lantas
bertempur dengan pasukan Majapahit, para Sunan sendiri yang memimpin peperangan.
Patih Majapahit mengamuk hebat dimedan tempur. Begitu juga delapan orang
pejabat Nayaka Bupati ikut terjun ke peperangan. Peperangan berjalan sengit, pasukan
Demak berjumlah tiga juta prajurid sedangkan pasukan Majapahit yang ada di ibu
kota hanya terkumpul tiga ribu prajurid. Majapahit telah diserang musuh secara besar-besaran, banyak
prajurid yang gugur, Patih dan para pejabat Nayaka Bupati terus bertempur tanpa
kenal mundur. Prajurid Demak yang terkena amukan mereka pasti tewas. Putra
selir sang Prabhu yang bernama Lembu Pangarsa
juga mengamuk dimedan laga, berhadapan dengan Sunan Kudus. Ditengah pertempuran, Patih Demak Mangkurat melemparkan
tombak kearah putra selir Majapahit,
gugurlah dia! Melihat putra selir gugur secara licik,sang Patih semakin mengamuk bagai banteng ketaton, tak lagi ada yang
ditakuti,segala senjata tak mampu melukai
tubuhnya, bagaikan tugu terbuat dari baja,segala besi tak ada yang mempan
ditubuhnya! Ditempat mana yang diterjang pasti bubar semburat, yang nekat
melawan pasti tewas mengenaskan.
Mayat bertumpang tindih. Sang patih ditembak pelor dari kejauhan, bagaikan
hujan datangnya mimis, akan tetapi mental bagai mengenai batu cadas! Sunan Ngundhung (ayah Sunan Kudus) maju
kedepan menghadapi amukan sang Patih,
ditikam tapi tak terluka, ganti terkena tikaman, Sunan Ngundhung tewas
seketika! (makam Sunan Ngundhung masih
ada di pemakaman Troloyo, Trowulan Mojokerto sampai sekarang : DamarShashangka). Begitu Sunan Ngundhung tewas, sang
Patih dikeroyok begitu banyak
prajurid Demak, sedangkan para prajurid Majapahit sudah banyak yang tewas.Seberapa kuatnya satu orang
melawan begitu banyak orang, akhirnya sang
Patih gugur. Akan tetapi jasadnya hilang dan meninggalkan suara : "
Ingat-ingatlah kalian semua orang
Islam, diberikan kebaikan oleh Raja-ku malah membalas dengan keburukan, tega merebut negara Majaphit dan
membuat pembunuhan sedemikian besar, ingatlah
kelak akan aku balas, akan aku hajar kesadaranmu agar tahu mana yang benar dan mana yang salah, akan aku potong bersih
rambutmu (maksudnya segala kebodohan mereka)
dan akan aku tiup kepalamu (maksudnya akan diberikan pengetahuan yang benar)!"
Setelah sang Patih gugur, para Sunan lantas masuk kedalam keraton. Akan
tetapi sang Prabhu sudah tidak ada, yang tinggal hanya Ratu Mas, yaitu Putri
Champa. Sang putri diminta untuk menyingkir ke Benang dan menurut.
Para prajurid Demak masuk kedalam keraton tanpa dkomando, didalam istana mereka menjarah dan
mengambil segala yang ada hingga bersih, para penduduk tidak ada yang berani
melawan.Raden Gugur yang masih kecil berhasil meloloskan diri. Adipati Terung ikut masuk
kedalam istana, membakar seluruh buku-buku ajaran Buda (Shiwa Buddha), pasukan yang
tersisa kocar kacir melarikan diri, padahal seluruh pintu benteng dijaga pasukan Terung
(coba diteruskan apa yang terjadi jika demikian? Dalam Serat Darmogandhul tidak
dilanjutkan). Masyarakat Majapahit yang tidak mau tunduk lantas mengungsi besar-besaran
ke gunung dan ke hutan-hutan (salah satunya pengikut Raden Jaka Seger dan Dewi Rara
Anteng yang mengungsi ke daerah pegunungan Bromo. Menurunkan suku Tengger
sampai sekarang. Nama Tengger diambil dari nama Dewi Rara An-TENG dan Raden
Jaka Se-GER : Damar Shashangka).Sedangkan masyarakat yang tunduk dikumpulkan
semua, lantas di Islam kan secara massal. Jasad para pejabat berikut putra-putra
selir yang gugur dikumpulkan dan dikubur (tidak dibakar secara Shiwa Buddha) disebelah
tenggara istana.Pemakaman tadi lantas dinamakan Bratalaya, konon katanya disanalah
makam RadenLembu Pangarsa juga berada.
Tiga hari kemudian, Sultan
Demak berangkat ke Ngampel, yang dipercaya menjaga di istana
Majapahit adalah Patih Mangkurat dan Adipati Terung, untuk menjaga keamanan istana dari
serangan-serangan pasukan Majapahit yang mungkin masih tersisa.Sunan Kudus juga
ikut menjaga istana, seolah-olah menjadi pengganti Sang Prabhu. Wilayah Terung
dijaga ulama tiga ratus, setiap malam melaksanakan shalat hajat serta membaca
Kur'an. Separuh pasukan dan beberapa sunan mengiringi Sultan Demak menuju Ngampeldhenta.
Sunan Ngampel sudah
wafat, hanya tinggal sang istri yang ada di Ngampel. Sang istri berasal dari Tuban,
putri Adipati Arya Teja. Sepeninggal Sunan Ngampel, Nyi Ageng (istri Sunan Ngampel)
dituakan oleh masyarakat Ngampel. Sang Prabhu Jimbuningrat (Raden Patah/Sultan
Demak) sesampainya di Ngampel, segera memberikan sembah bakti kepada Nyi Ageng.
Bergiliran, para sunan juga menghaturkan sembah baktinya. Prabhu Jimbuningrat lantas
melaporkan bahwa telah berhasil menjebol Majapahit, melaporkan lolosnya Sang Ayahanda
dan Raden Gugur,serta tewasnya Patih Majapahit serta mengabarkan bahwa dirinya
sudah mengukuhkan diri sebagai Raja yang menguasai tanah Jawa, berjuluk :
Senopati Jimbun atau Panembahan Palembang. Maksud kedatangannya ke Ngampel hendak meminta
restu agar lestari menjadi Raja hingga keturunanya kelak.
Usai mendengar laporan Prabhu Jimbun, Nyi Ageng seketika menangis dan merangkul Sang Prabhu
(Jimbuningrat). Hatinya bagai diiris-iris, beginilah ucapan yang keluardari
bibir beliau :"Cucuku, kamu telah melakukan tiga buah dosa. Berani melawan
Raja-mu sekaligus Orang tua-mu, orang yang telah memberikan kemuliaan
duniawi, namun kamu
hancurkan tanpa dosa. Jika mengingat kebaikan paman Prabhu Brawijaya,dimana para ulama diberikan tempat
tinggal sehingga bisa mencari makan ditempat
masing-masing, serta diberi kebebasan untuk menyebarkan agama, seharusnya sebagai
manusia patut mengucapkan terima kasih. Tetapi mengapa akhirnya dibalas dengan kejahatan, sekarang beliau wafat atau masih
hidup tidak diketahui lagi bagaimana nasibnya!"
Nyi Ageng berkata lagi
kepada Sang Prabhu : "Ngger, aku hendak bertanya kepadamu, jawablah
sejujurnya, siapakah ayahmu yang sesungguhnya? Siapakah yang mengukuhkan kamu menjadi
Raja tanah Jawa dan siapa yang merestui? Apa sebabnya kamu melakukan pembunuhan
kepada orang Majapahit sedangkan mereka tanpa memiliki kesalahan
kepadamu?"
Sang Prabhu menjawab, konon Prabhu Brawijaya memang ayahandanya yang sesungguhnya.Yang
mengangkat dirinya menjadi Raja tanah Jaya tak lain para Bupati pesisir utara. Yang
merestui para Sunan. Majapahit diserang, sebab Sang Prabhu Brawijaya tidak mau masuk
Islam, tetap bersikukuh memeluk agama kafir kufur,agama Buda (Shiwa Buddha)
totok yang sudah keras bagai kerasnya kuwuk (batu laut).
Mendengar penuturan Prabhu
Jimbun, Nyi Ageng menjerit seketika dan merangkul sambilberkata :
"Ngger! Ketahuilah! Kamu telah berbuat dosa tiga macam. Pasti akan mendapatkan
hukuman Gusti Allah. Kamu telah berani melawan Raja-mu dan Orangtuamu sendiri,
yang telah memberikan kemuliaan duniawi bagimu, kamu tega telah melakukan kekerasan
kepada orang yang tanpa salah. Adanya manusia Islam dan Kafir siapa yang menciptakan,
kecuali hanya satu Gusti Allah sendiri.Manusia berganti agama itu tidak bisa dipaksa,
jika bukan kehendak pribadinya sendiri. Ketahuilah manusia yang gugur karena memegang
teguh keyakinannya termasuk manusia yang utama! Jika Gusti Allah menghendaki,
pastinya tak usah disuruh, pasti akan memeluk agama Islam sendiri. Gusti Allah
yang bersifat Rahman (Kasih) tidak memerintahkan untuk memaksa orang masuk agama
tertentu,semua sesuai kehendak manusia sendiri-sendiri. GUSTI ALLAH TIDAK AKAN MENYIKSA
MANUSIA KAFIR YANG TAK BERSALAH DAN TIDAK AKAN MEMBERIKAN PAHALA
KEPADA ORANG ISLAM YANG PERBUATANNYA TIDAK BENAR! HANYA
PERBUATANNYA YANG AKAN DIADILI SECARA ADIL, BUKAN KARENA AGAMANYA APA!
Ibumu China menyembah Pek-Kong, yang diwujudkan dalam kertas
bergambar atau arca dari batu. Tidak benar membenci orang Buda. Itu tandanya matamu
masih terlapisi, sehingga tidak terang penglihatanmu, tidak tahu mana yang benar dan
mana yang salah! Konon kamu putra Sang Prabhu, tapi mana ada putra yang tega menghancurkan ayahandanya
sendiri, menghancurkan tanpa adakesalahannya.
Beda dengan mata orang Jawa asli, Jawa atau Jawi ( Jawa maksudnya paham atau sadar, orang Jawa yang tidak paham
etika atau sadar sopan santun lumrah disebut
ORA JAWA! : DamarShashangka), penglihatannya satu, paham mana yang benar dan
mana yang salah, sadar mana yang baik dan mana yang buruk! Pasti takut berbakti
kepada orangtua, kedua berbakti kepada
Raja yang telah memberikan anugerah kemuliaan
duniawi, orang tua maupun Raja wajib diberikan dharma bakti. Niatnya berbakti kepada orang tua, bukan melihat kafirnya!
Kamu aku beritahu, Agung Kuparman
beragama Islam dan mempunyai mertua kafir. Mertuanya benci kepadanya karena beda agama, senantiasa mencari jalan agar
menantunya mati. Akan tetapi Agung Kuparman
senantiasa berbakti dan menghormati karena mengingat dia adalah mertuanya yang bagaikan orangtua sendiri, tidak melihat
kafirnya! Itulah contoh manusia utama, tidak seperti perbuatanmu, menganiaya
orang tua hanya karena beliau beragama Buda dan tidak mau berganti agama Islam.
Perbuatanmu tidak patut. Dan lagi aku hendak bertanya, apakah kamu pernah meminta secara pribadi kepada ayahandamu
agar bersedia berganti agama? Lantas
apa yang menyebabkan kamu nekad merusak negara Majapahit?"
Prabhu Jimbun menjawab, belum pernah meminta kesediaan ayahandanya agar
berganti agama, datang ke Majapahit langsung menyerang.
Nyi Ageng Ngampel tertawa dan berkata, "Perbuatanmu semakin terlihat
salah! Para Nabi pada jaman dulu, berani menentang orang tuanya, sebab sudah
setiap hari meminta kesediaan orang tua mereka agar berganti agama, akan tetapi tidak
mau juga,bahkan hingga diberi bukti mukjijat segala, mukjijat sudah saatnya
berganti agama Islam, akan tetapi permintaan itu tidak digubris, orang tua mereka masih
tetap memegang teguh agama lama, lantas mereka dimusuhi oleh orang tua mereka.Jika
begitu kejadiannya, kalaupun harus bermusuhan dengan orang tua, mereka tidak
salah. Sedangkan dirimu, apa mukjijatmu? Jika memang nyata Khalifatullah(Wakil
Allah) yang berhak
mengganti agama lama sekarang perlihatkan mukjijadmu aku ingin menyaksikannya!"
Prabhu Jimbun menjawab
jika tidak memiliki mukjikat apapun, hanya menuruti bunyi kitab, katanya jika
meng-Islam-kan orang kafir kelak mendapat anugerah surga.
Nyi Ageng Nganpel tertawa dan semakin marah, " Hanya katanya kok
dituruti, bahkan bukan ujar leluhur. Kata-kata orang pengembara kok dituruti,
akhirnya yang rusak dirimu sendiri. Itu tanda masih mentah pengetahuan agamamu! Berani
kepada orang tua,
hanya karena ingin menjadi Raja, kesengsaraan masyarakat banyak tidak kamu fikirkan. Dirimu bukan santri ahli Budi
(Kesadaran), hanya manusia yang berikat kepala putih, bagaikan putihnya burung bangau, yang putih hanya kulitnya saja,didalamnya masih merah menyala! Saat kakekmu
(Sunan Ngampel) masih hidup,dirimu
pernah meminta ijin untuk menyerang Majapahit, kakekmu tidak memberikan ijin, bahkan wanti wanti jangan sampai
bermusuhan dengan orang tua. Sekarang
kakekmu sudah wafat, larangannya kamu langgar, kamu tidak takut melanggar wasiatnya. Jikalau dirimu sekarang meminta restu
padaku untuk menjadi Raja tanah Jawa, diriku tidak berwenang memberikan ijin,
diriku orang kecil, seorang wanita lagi. Nanti terbalik akhirnya. Sebab seharusnya dirimu yang berwenang
memberikan restu kepadaku, sebab
dirimu adalah Khalifatullah di tanah Jawa.Dirimu adalah orang tua, apa yang
kamu ucapkan bagaikan ludah berisi api (maksudnya bakal dituruti banyak orang),
diriku hanya tua tanpa arti,
dirimulah yang tua karena kamu sekarang Raja!"
Lantas Nyi Ageng Ngampel
berkata lagi, “ Cucuku, dengarkanlah aku akan menceritakan empat kisah
lama yang bisa dijadikan suri tauladan. Dalam sebuah kitab hikayat telah
diceritakan, di tanah Mesir (yang benar cerita ditanah Israel atau Isroil, penulis Darmagandhul
membuat kesalahan disini. Ini membuktikan sang penulis bukan misionaris Kristiani
seperti yang dituduhkan oleh beberapa kalangan akhir-akhir ini. Jika benar sang penulis adalah
misionaris Kristiani, mana mungkin melakukan sebuah kesalahan semacam ini, dimana kisah Nabi Daud
dikatakan cerita dari Mesir. Dalam Kitab
Perjanjian Lama sudah jelas diketahui Daud adalah orang Israel dan Raja Israel,
dan seorang Kristiani tak mungkin akan salah jika bertutur tentang Daud dan
Israel-nya. : Damar Shashangka) bahwa pernah suatu ketika putra Kangjeng Nabi
Daud pernah merebut tahta ayahnya.
Nabi Daud sampai harus meloloskan diri dari kerajaan dan sang putra mengukuhkan diri sebagai Raja. Tidak berapa
lama Nabi daud berhasil merebut kerajaannya. Sang putra lari dengan menunggang
kuda ke hutan, kuda berlari tak bisa dikendalikan
hingga sang putra tersangkut pohon dan batu, dan tewas dengan tubuh tersangkut pada sebatang pohon. Itulah yang
disebut hukum Allah. Ada lagi cerita dari Prabhu Dewatacengkar, dia juga merebut tahta ayahandanya, dikutuk oleh
sang ayah menjadi raksasa, setiap hari
harus memakan daging manusia, tidak berapa lama kemudian, datanglah seorang Brahmana dari tanah seberang (India) ke
Jawa, bernama Aji Saka, membawa
kesaktian ditanah Jawa. Seluruh masyarakat Jawa mengasihi Aji Saka, dan membenci Dewatacengkar. Aji Saka
diangkat menjadi Raja, Dewatacengkar dilawan
hingga lari menceburkan diri ke samudera, berubah menjadi buaya, tidak berapa lama kemudian meninggal. Ada lagi cerita dari
negara Lokapala, Sang Prabhu Danaraja berani
melawan ayahandanya, hukuman yang diterima juga tak jauh beda dengan cerita sebelumnya, semua menemui kesengsaraan. Dan
sedangkan kamu, melawan ayah tanpa dosa, pastilah kamu menemui
kesengsaraan, jika kelak meninggal pasti akan masuk neraka, itulah hukum Allah bagimu!”
Mendengar penuturan sang nenek, Sang Prabhu Jimbun dalam hati merasa menyesal, akan tetapi
semua sudah terlanjur.
Nyi Ageng Ngampel masih meneruskan penuturannya,”Ketahuilah dirimu itu diperalat oleh para Ulama
dan para Bupati, mengapa kamu menurut saja? Yang akan menerima kesengsaraan
pastilah hanya dirimu seorang, sudah kehilangan ayah, seumur hidup namamu akan tercemar.
Kebanggaan apa yang kamu dapatkan unggul berperang dengan ayah sendiri yang
patut dihormati? Walau kamu bertaubatl kepada Yang Maha Kuasa, menurutku tidak akan diterima taubatmu.
Kesalahan pertama kamu berani melawan
ayahanda sendiri, kesalahan kedua berani menentang Raja, kesalahan ketiga membalas
kebaikan dengan kejahatan serta melakukan perusakan dan pembunuhan tanpa ada dosa. Ingat, Adipati Pranaraga (Bathara
Katong) dan dipati Pengging (Adipati Andayaningrat)
tidak akan mungkin bisa menerima kehancuran Majapahit, pasti mereka akan membela ayah mereka, menghadapi hal itu saja
sudah sangat berat buatmu.” Banyak
lagi penuturan Nyi Ageng kepada Prabhu Jimbun. Sesudah Sang Prabhu selesai dinasehati, lantas disuruh pulang ke Demak serta
disuruh mencari kemana perginya ayahandanya. Jika sudah ditemukan supaya
diminta pulang kembali ke Majapahit, sebelumnya
diminta mampir ke Ngampelgadhing. Akan tetapi jika tidak berkenan, tidak boleh dipaksa, sebab jikalau sampai membuat
kemarahan beliau lagi dan sampai mengeluarkan
kutuk, pasti akan terjadi kutukan itu.
Sesampainya di Demak, Sang Prabhu Jimbun melihat seluruh prajuridnya
tengah bersuka cita dan bersenang-senang merayakan kemenangan, sedangkan para
santri semua memukur rebana sembari berdzikir, mengucapkan syukur dan suka dihati
melihat Sang Prabhu pulang sembari membawa kemenangan.
Sunan Benang menyambut kedatangan Sang Prabhu Jimbun, Sang Raja lantas
melaporkan kepada Sunan Benang bahwa Majapahit sudah bisa dijebol, seluruh
kitabkitab Buda sudah dibakar semua, serta melaporkan bahwasanya ayahandanya
berikut Raden Gugur lolos dari istana, sedangkan Patih Majapahit tewas ditengah
medan peperangan. Putri Cempa dibawa mengungsi ke Benang, semua prajurid
Majapahit yang menyerah dipaksa masuk Islam.
Mendengar laporan Sang
Prabhu Jimbun, Sunan Benang tertawa sembari mengangguk-angguk dan
berkata kalau sudah sesuai dengan apa yang sudah dilihatnya secara gaib.
Sang Prabhu berkata
lagi, sebelum pulang ke Demak menyempatkan mampir ke Ngampeldhenta, sowan kepada
eyang Nyi Ageng Ngampel, melaporkan kepada beliau jika baru saja berhasil
menjebol Majapahit dan meminta restu untuk menjadi Raja. Akan tetapi di Ngampel malah
dimarahi habis-habisan karena menurut beliau dirinya tidak bisa melihat kebaikan Sang
Prabhu Brawijaya. Sesudah itu, diutus oleh beliau agar mencari jejak kepergian
ayahandanya, semua yang diucapkan Nyi Ageng Ngampel dihaturkan semua kepada Sunan
Benang.
Sesudah mendengar penuturan Sang Raja, didalam hati Sunan Benang merasa menyesal, menyadari
kesalahannya, dimana dirinya tidak mengingat semua kebaikan Sang Prabhu Brawijaya yang
telah diberikan kepadanya. Akan tetapi perasaan sesal itu segera ditepis dengan
ucapan bahwasanya tindakan menjebol Majapahit itu sudah benar karena Sang
Prabhu Brawijaya dan Patih tidak mau memeluk agama islam.
Sunan Benang lantas berkata bahwasanya seluruh penuturan Nyi Ageng
Ngampel tidak perlu dirisaukan, sebab akal seorang wanita itu pasti kurang
sempurna dibandingkan dengan akal pria, lebih baik usaha menjebol Majapahit terus
dilanjutkan. Jikalau Prabhu Jimbun menuruti nasehat Nyi Ageng Ngampeldhenta, Sunan
Benang memutuskn hendak pulang ke Arab. Prabhu Jimbun berkata kepada Sunan
Benang, bahwasanya jikalau tidak menuruti perintah Nyi Ngampel, pastinya akan
mendapatkan kutuk yang tidak baik, oleh karenanya dirinya merasa takut.
Sunan Benang memberikan jalan keluar kepada Sang Prabhu, jikalau memang
Sang Prabhu Brawijaya diusahakan kembali ke Majapahit, maka Sang Prabu Jimbun harus menghadap dan
memohon maaf atas segala kesalahan yang telah dilakukan. Namun jika hendak diangkat kembali menjadi Raja,
jangan diangkat di Jawa, sebab pastinya akan
menjadi penghalang bagi mereka yang hendak memeluk agama Islam. Seyogyanya dikukuhkan sebagai Raja diluar pulau Jawa, dimana
saja diwilayah Majapahit asal tidak di
pulau Jawa!
Sunan Giri lantas menyambung, dia berpendapat jalan yang terbaik agar
tidak sampai terjadi pertumpahan darah yang berkelanjutan, Sang Prabhu Brawijaya
beserta para putra-putra yang masih memiliki kuasa dibeberapa daerah seyogyanya
ditenung (di santet) saja, membunuh orang kafir itu tidak ada dosanya!
Sunan Benang dan Prabhu Jimbun akhirnya menyetujui pendapat Sunan Giri tersebut.
Berganti cerita, perjalanan
Sunan Kalijaga yang tengah berusaha melacak jejak Sang Prabhu Brawijaya,
hanya didampingi dua orang murid. Perjalanan mereka terluntalunta. Setiap desa
dimasuki hanya demi mencari kabar berita. Perjalanan Sunan Kalijaga sampai dipesisir timur
pulau Jawa, dimana disanalah Sang Prabhu Brawijaya tengah berada.
Perjalanan dari Prabhu
Brawijaya sendiri sudah sampai di Blambangan. Karena rombongan merasa lelah
lantas beristirahat disamping danau. Pada saat itu suasana hati Sang Prabhu sangat gelap.
Yang menghadap didepan beliau hanya dua orang abdi terkasih, tak lain adalah
Nayagenggong dan Sabdapalon. Kedua abdi ini terus mengcoba menghibur hati Sang
Prabhu agar tidak terus larut dalam kesedihan karena kejadian yang baru dialami. Tidak berapa lama datanglah
Sunan Kalijaga, menghaturkan sembah dibawah
kaki Sang Prabhu. Sang Prabhu lantas
bertanya kepada Sunan Kalijaga,” Sahid, mengapa kamu ada disini? Ada perlu apa menguntit perjalananku?”
Sunan Kalijaga menjawab, “Sowan hamba ini diutus oleh putra paduka untuk mencari keberadaan
paduka. Jika bertemu dimanapun, agar supaya sembah sujud sang putra dihaturkan kepada
paduka. Memonon maaf atas segala kesalahan yang telah diperbuat yang telah
berani merebut tahta. Disebabkan kebodohan hati seorang muda, yang belum memahami tata
krama, terlalu lancang menuruti keinginan hati agar bisa menjadi seorang Raja
yang mempunyai banyak wadyabala dan dihadap oleh banyak Bupati. Dan saat ini,
putra paduka telah menyadari segala kekeliruannya. Dimana dia yang telah
memiliki seorang ayah Raja Besar, yang telah mengangkat derajatnya dari orang rendah menjadi
seorang Adipati Demak, akan tetapi balasannya seperti ini. Saat ini putra
paduka telah menyadari, setelah paduka lolos dari istana dan tidak diketahui
lagi keberadaannya, putra paduka merasa menyesal dan takut mendapatkan hukuman
Tuhan. Oleh karenanya hamba diutus untuk melacak keberadaan paduka, pesannya
jika bertemu dimana saja diharapkan sudilah kiranya kembali ke Majapahit, kembali bertahta
seperti sediakala, mennguasai para prajurid dan dihadap para punggawa, lestari
menjadi sesepuh yang dihormati oleh para putra dan cucu serta para kawula alit.
Dihormati dan dimintai restunya. Jikalau paduka berkenan pulang, putra
paduka rela menyerahkan tahta kembali kepada paduka, putra
paduka berserah diri hidup dan matinya kepada paduka. Namun jika diperkenankan, putra
paduka hanya memohon agar dimaafkan segala kesalahannya yang telah dibuat dan
agar diperkenankan tetap menjabat sebagai Adipati Demak, seperti yang sudah-sudah. Akan
tetapi jika paduka tidak berkenan menerima tahta kembali, jika menginginkan mendirikan
istana di mana saja, walaupun dilereng gunung-pun, dimanapun yang paduka
senangi, putra paduka akan membuatkan dan akan menjamin sandang dan pangan
paduka, akan tetapi memohon agar berkenan memberikan pusaka (tahta) tanah Jawa.
Tahta diminta dengan segala kerendahan dan kerelaan hati.”
Sang Prabhu Brawijaya berkata,”Telah ku dengar semua penuturanmu, Sahid! Akan tetapi tidak aku
pedulikan lagi, sebab diriku sudah kapok mendengarkan ucapan para santri yang
mempunyai mata tujuh buah (maksudnya banyak akalnya), dan semua mata tersebut
mata yang dilapisi, sehingga tidak terang dan jelas penglihatannya. Baik dimuka tapi memukul dari belakang.
Kata-katanya hanya manis dibibir, akan tetapi hatinya
penuh dengan debu kotoran yang dilemparkan ke wajahku sehingga butalah mataku ini. Sudah aku berikan kebaikan, balasannya
bagaikan tingkah makhluk yang berekor.
Apa salahku sehingga dirusak tanpa dosa, meninggalkan segala tata cara dan etika manusia, mengobarkan peperangan tanpa
tantangan, apakah memakai cara babi, sehingga
tidak memakai etika manusia?”
Mendengar jawaban Sang
Prabhu, Sunan Kalijaga merasa ikut bersalah karena secara tidak langsung
ikut membiarkan kehancuran Majapahit, dalam batin sangat-sangat menyesal, semua sudah
terlanjur, sehingga akhirnya keluarlah keluhannya, “Apapun kemarahan yang
paduka ungkapkan, tetap akan hamba jadikan jimat utama, hamba junjung dan hamba ikat
diatas rambut kepala, hamba letakkan diubun-ubun, semoga bisa menambahi cahaya nurbuat
yang bening sehingga membuat keselamatan bagi hamba dan semua putra dan cucu paduka. Karena hamba
sudah menyadari kesalahan ini, apalagi yang
hendak hamba minta, kecuali hanya kerelaan paduka untuk memberikan maaf. Lantas kalau boleh hamba bertanya, selanjutnya
paduka hendak pergi kemanakah?”
Sang Prabhu Brawijaya
menjawab, “Sekarang aku memutuskan hendak ke pulau Bali, menemui adikku
Prabhu Dewa Agung di Klungkung. Aku hendak memberitahu segala tindakan Patah,
menganiaya orang tuanya sendiri yang tanpa dosa. Aku hendak meminta adikku Prabhu
Dewa Agung untuk menghubungi seluruh Raja bawahan Majapahit diluar pulau Jawa,
agar mempersiapkan diri dengan persenjataan perang lengkap! Serta aku hendak
meminta tolong kepada adikku Prabhu Dewa Agung agar Adipati Palembang
diberitahu, jikalau kedua anaknya sesampainya di Jawa sudah aku angkat sebagai Bupati,
akan tetapi tidak tahu jalan yang benar, dan berani melawan ayah dan Raja-nya sendiri, aku
hendak meminta kerelaan Adipati Palembang untuk merelakan anaknya (Raden Kusen/Kin
Shan ~ Adipati Terung Pecattandha) aku bunuh. Bahkan melalui adikku Prabhu Dewa
Agung aku hendak meminta tolong menghubungi Hong Te di China, untuk
mengabarkan bahwasanya putrinya yang menjadi istriku telah melahirkan seorang cucu
baginya (Raden Patah ~ Adipati Demak), tapi tidak tahu jalan yang benar, berani
melawan ayah dan Raja-nya, aku juga hendak meminta kerelaan Hong Te untuk merelakan cucunya aku bunuh. Tidak
hanya itu, aku juga akan mengutus Prabhu
Dewa Agung untuk menghubungi Keraton China, meminta bantuan prajurid dengan persenjataan lengkap dan segera datang ke
Bali bersiap menggempur Jawa! Pasti Raja
China masih memperhatikan nama besarku, pasti Raja China tidak tega melihat Raja yang sudah bungkuk terlunta-lunta seperti
aku. Nama besarku pasti akan membuat prajurid
China bakal dikirimkan ke Bali. Akan aku kerahkan semua pasukan tadi menyerang tanah Jawa, merebut tahtaku kembali.
Sekarang, jika memang harus terjadi perang besar antara ayah melawan anak, aku
sudah tidak peduli lagi! Sebab diriku selama ini tidak pernah memulai membuat kesalahan, diriku selama ini tidak
pernah meninggalkan tata cara
seorang Raja bijak!”
Mendengar kata-kata Sang Prabhu yang demikian, Sunan Kalijaga tercenung
dan berkata dalam hati, “Benarlah apa yang dikatakan oleh Nyi Ageng
Ngampelgadhing, bahwasanya
eyang wungkuk (Prabhu Brawijaya) masih mempunyai nama besar dan masih punya kuasa. Sungguh tidak melihat diri
sendiri, kulit yang sudah keriput punggung
yang sudah bungkuk. Jikalau sampai menyeberang ke pulau Bali, pastilah akan terjadi
perang besar dan dapat dipastikan kekuatan Demak tidak akan bisa menang. Sebab jelas-jelas Demak melakukan kesalahan yang
tidak akan menarik simpati Negara manapun. Kesalahan pertama berani
melawan ayahanda sendiri. Kesalahahn kedua berani
melawan Raja tanpa ada masalah yang jelas dan kesalahan ketiga berani membalas kebaikan dengan kejahatan. Pastilah semua
penduduk Jawa (Majapahit) yang belum masuk
Islam akan membela Raja tua, mereka akan ikut memperkuat barisan, dan pastilah akan kalah orang Islam, habis binasa dalam
peperangan yang bakal terjadi.”
Akhirnya Sunan Kalijaga
pelan berkata,” Duh paduka yang mulia Kangjeng Sang Prabhu. Jikalau
seandainya paduka terlaksana menyeberang ke Bali, terlaksana menggalang kekuatan para
Raja bawahan Majapahit diluar Jawa, pastilah bakal terjadi perang besar. Apakah
paduka tidak sayang akan kerusakan tanah Jawa kelak ? Sudah dapat dipastikan putra
paduka (Raden Patah) yang akan menemui kekalahan. Paduka lantas kembali naik
tahta, tak lama kemudian akan turun tahta karena jelas paduka sudah sepuh. Tahta Jawa lantas
dikuasai oleh yang bukan keturunan darah paduka. Bagaikan anjing yang berebut
bangkai, anjing yang bertengkar tak ada yang mengalah dan binasa kedua-duanya, sedangkan
daging yang diperebutkan akhirnya dimiliki oleh anjing yang lain.”
Sang Prabhu Brawijaya menjawab, “Jikalau memang harus seperti itu
kejadiannya nanti, semua aku pasrahkan kepada kehendak Dewa Yang Maha Lebih. Diriku
ini Raja Besar, setia pada satu mata, tidak mempergunakan dua mata, hanya satu
mata melihat kebenaran, kebenaran yang sudah ditetapkan turun temurun oleh leluhur
tanah Jawa. Seandainya si Patah mengakui aku ayahnya, jika hanya ingin menjadi Raja,
seharusnya mintalah tahta secara baik-baik. Tahta tanah Jawa pasti akan aku berikan
dengan baikbaik pula.
Diriku sudah tua, sudah bosan menjadi Raja, dan sudah saatnya menjadi Pandhita, menyepi dilereng gunung. Akan tetapi
sekarang kenyataannya si Patah tega menyia-nyiakan
diriku, demi Dewata Yang Agung pastilah sekarang diriku tidak akan rela jika
tanah Jawa dikuasainya, begitu pula seluruh abdi-abdiku, tak ada yang rela jika
tanah Jawa dikuasai Patah!”
Sunan Kalijaga, begitu mendengar kata-kata Sang Prabhu merasa sudah tidak
bisa mencegah lagi. Sontak dia menyembah kaki Sang Prabhu. Kemudian melepas
keris yang terselip dipinggang belakang serta disodorkan kepada Sang Prabhu
sembari menyatakan, jikalau Sang Prabhu tidak mendengarkan kata-kata Sunan Kalijaga, Sunan
Kalijaga memohon agar
Sang Prabhu berkenan membunuhnya saat itu juga. Sunan Kalijaga merasa malu jika kelak harus melihat peperangan
besar terjadi di Jawa antara ayah dan anaknya.
Melihat apa yang
dilakukan oleh Sunan Kalijaga sedemikian itu, hati Sang Prabu beku dan teriris,
lama tak mampu bersuara. Dada beliau seketika sesak dan tak terasa menetes air mata Prabhu
Brawijaya. Bergetar suara Sang Prabhu, “Sahid, duduklah kembali, sudah akan aku
pikirkan kembali kata-kataku, akan aku renungkan lagi semua ucapanmu, benar
atau tidaknya, jujur atau bohong. Sebab aku khawatir apa yang kamu ucapkan semua tadi hanya
bohong belaka. Ketahuilah Sahid, jika seandainya aku benar pulang kembali ke
Majapahit, lantas si Patah menghadap dihadapanku. Kebenciannya tak mungkin bisa hilang,
sebab merasa memiliki ayah orang Buda totok kafir kufur. Hanya sesaat dia bisa menghargaiku.
Lain hari pasti akan lupa lagi. Mungkin aku nanti bisa juga dikebiri (sunat) olehnya,
atau mungkin bisa juga disuruh menjaga pintu gerbang belakang. Pagi sore dipaksa
melaksanakan sembahyang. Jika tidak bisa-bisa diguyur air dikolam dan dikosok tubuhku
mengunakan daun alang-alang kering!”
Sang Prabhu melanjutkan
ucapannya kepada Sunan Kalijaga, “Renungkanlah, Sahid. Bagaimana
sedihnya hatiku, sudah tua, bungkuk, diperlakukan bagai anak kecil direndam di kolam
sedemikian rupa.”
Sunan Kalijaga tersenyum sembari berkata,”Tak mungkin hingga sedemikian
itu perlakuan putra paduka. Sungguh kelak saya yang akan bertanggung jawab.
Saya pastikan putra paduka tidak akan berani berlaku sia-sia kepada paduka.
Jika masalah agama, semua tergantung kepada pribadi pasuka sendiri. Akan tetapi akan
lebih baik jika paduka memang berkenan berganti agama Buda dengan syari’at Rasul.
Menyebut asma Allah. Jikalau memang tidak berkenan, tidak juga menjadi masalah. Agama
bukan jaminan (menemukan kesejatian). Keyakinan orang Islam yang utama hanyalah
sahadat. Walaupun shalat jempalitan, manakala belum memahami sahadat, tetap saja
dinamakan kafir.”
Sang Prabhu berkata,”Apa Sahadat itu? Aku kok belum tahu, jelaskanlah
akan aku dengarkan!”
Sunan Kalijaga lantas
mengucapkan kalimat Sahadat: “Ashadualla illa haillallah, wa ashadu anna
Muhammadarrasulullah. Artinya Aku bersaksi, tidak ada Tuhan yang sejati kecuali Allah. Dan
aku bersaksi, Kangjeng Nabi Muhammad adalah utusan Allah.”
Lantas Sunan Kalijaga
mengatakan lagi,”Manusia yang melakukan penyembahan kearah kiblat semata,
akan tetapi tidak juga memahami maksudnya, tetaplah dinamakan kafir. Dan lagi manusia yang menyembah sesuatu
yang berwujud dan berwarna, itu disebut
menyembah berhala. Maka oleh karenanya, manusia wajib memahami dirinya dari lahir hingga batin. Manusia mengucapkan
sesuatu harus tahu apa yang diucapkan. Sesungguhnya
yang disebut Nabi Muhammad Rasulullah, Muhamad itu sejatinya adalah bagaikan
makam atau kuburan. Badan sejati manusia ini (Ruh) ibarat tempat tertanamnya/melekatnya segala gejolak batin.
Sesungguhnya yang mengucapan sahadat adalah
menyaksikan Diri-nya sendiri (Ruhnya sendiri sebagai utusan Allah), bukan naik
saksi kepada Muhammad yang ada di Arab. Badan (sejati) manusia ini adalah
Percikan Dzat Tuhan. Diibaratkan
sebagai kubur atau makam segala rasa dan gejolak batin. (Diri sejati sebagai) Rasul (utusan) akan dapat
di-Rasa-kan (oleh Ruh). Bukan dirasakan bagai merasakan Rasa makanan (dan segala rasa pancaindriya, akan tetapi Rasa
sadar bahwa diri ini adalah utusan
Tuhan). Rasul (utusan/Ruh) ini murni illahi. Lullah (dari Allah) bisa juga diartikan bagaikan luluh. Seperti lumpur
yang luluh. Rasulullah (Utusan Allah/Ruh ini) sesungguhnya adalah illlahi yang diselimuti oleh rasa negative dan
segala yang jelek. Muhammad
Rasulullah (Ruh adalah utusan Allah). Untuk menyadarinya pertama-tama harus memahami apa badan (kasar) ini, kedua
memahami segala keinginan (gejolak batin/badan
halus). Sudah wajib semua manusia mencermati segala rasa (gejolak batin yang
ditimbulkan oleh badan halus). Rasa dan Tedhi (semua gejolak batin yang halus) itulah yang melekati Muhammad Rasulullah (Ruh
utusan Allah). Oleh karenanya setiap melakukan shalat orang Islam harus
mengawali dengan ucapan ‘Usholi’ artinya berniat sungguh-sungguh untuk mengetahui asal-usul (Ruh ini). Raga manusia ini
berasal dari bayangan Ruh Idhofi,
yaitu Muhammad Rasulullah itu sendiri. Yang dimaksud Rasul adalah utusan yang harus bisa di Rasa (disadari)
bahwsanya kita ini utusan sejati. Dari sanalah
benih segala kehidupan. Akan bisa dicapai dengan kesadaran terbuka. Diawali memahami ashadualla (sahadat). Jika tidak
memahami apa arti sahadat sesungguhnya, maka tidak sempurna rukun Islam dan tidak akan mengetahui awal asal usul
kehidupan kita!”
Banyak yang dihaturkan oleh Sunan Kalijaga sehingga Prabhu Brawijaya
akhirnya tertarik dan berkenan memeluk agama Islam. Lantas kemudian Sunan Kalijaga
memohon agar
diperkenankan memotong rambut panjang Sang Prabhu akan tetapi tidak bisa terpotong saat digunting. Oleh karenanya Sunan
Kalijaga lantas menyarankan agar Sang Prabhu
benar-benar sungguh-sungguh masuk Islam lahir batin. Sebab jika hanya lahir saja, rambut tidak akan mempan digunting. Sang
Prabhu lantas berkata bahwa dirinya sudah
lahir batin, oleh karenanya rambut lantas bisa dipotong.
Selesai dipotong rambutnya Sang Prabhu lantas berkata kepada Sabda Palon
dan Naya Genggong, “Kalian semua aku jadikan saksi, bahwa mulai hari ini aku meninggalkan agama Buda
dan memeluk agama Islam. Menyebut asma Allah Yang Sejati. Keinginanku, kalian berdua aku harapkan ikut
berganti memeluk agama Rasul dan meninggalkan
agama Buda!”
Sedih Sabda Palon menjawab, “ Hamba ini adalah Raja Dang Hyang (makhluk gaib) yang menjaga tanah
Jawa. Siapapun yang menjadi Raja, adalah momongan hamba. Mulai dari leluhur paduka dulu, yaitu Wiku
Manumanasa, Raden Sakutrem hingga Bambang
Sakri, turun temurun hingga sekarang ini, semua menjadi momongan hamba dan hamba ajari ajaran Jawa sejati. Jika hamba
tidur, mampu tidur selama 200 tahun. Selama saya tidur di Jawa akan
banyak terjadi peperangan antar saudara. Yang kuat akan memangsa sesame manusia, menghancurkan sesame bangsanya sendiri.
Hingga sat ini usia hamba 2003 tahun.
Hamba telah momong ajaran Jawa, semua yang hamba momong selama ini tak
ada yang berubah agamanya. Memegang teguh agama Buda. Hanya paduka sekarang
saja yang berani meninggalkan ajaran leluhur Jawa. Jawa artinya paham , yang sudah paham disebut Jawan (Sadar). Sadar bahwa
badan sejati ini hanya sementara tinggal didunia, tujuannya adalah meraih
moksha!”
Ucapan Wiku Utama
dibarengi seketika oleh suara gemuruh guntur!
Sang Prabhu Brawijaya
oleh para Dewa disindir karena telah memeluk agama Rasul. Tiga sindiran yang
muncul di bhumi Jawa mulai sat itu adalah 1. Suket Jawan (Rumput Jawan), 2. Pari
Randhanunut (Padi Randhanunut, Randha : Janda, Nunut : ikut tinggal/Numpang Randhanunut
~ Seorang jandha yang ikut tinggal/numpang hidup) dan 3. Pari Mriyi (Padi
Mriyi).
(Konon mulai saat itulah muncul Padi dan Rumput dengan nama seperti
diatas. Rumput Jawan, maksudnya Kesadaran yang telah rendah serendah rumput yang
bisa diinjak-injak. Padi Randhanunut, maksudnya padi/makanan batin/ajaran
agama milik seorang janda yang tinggal numpang dirumah seseorang, alias kebenaran
yang dimiliki oleh sekelompok manusia yang kehilangan pasangan sejati/Tuhan yang
numpang di Jawa dan Padi Mriyi
adalah Padi yang kecil-kecil, maksudnya makanan batin/ajaran yang masih berupa jenis yang kecil : Damar Shashangka)
Sang Prabhu berkata
lagi, “Aku Tanya lagi bagaimana niatanmu, mau atau tidak meninggalkan agama Buda
berganti memeluk agama Rasul. Menyebut nama Nabi Muhammad Rasulullah,
panutan para Nabi dan menyebut asma Allah Yang Sejati?”
Sabda Palon sedih berkata,”Silakan paduka sendiri saja yang masuk, hamba
tidak tega melihat kelakuan sia-sia mereka, seperti watak orang Arab. Sia-sia
artinya suka menghukum (menghakimi), menghakimi semua yang berbadan. Jikalau hamba
berganti agama, jelas akan membuat tak berguna tujuan moksha hamba kelak. Yang
mengaku paling mulia itu hanya orang Arab saja dan diikuti oleh orang Islam
semua. Memuji dan meninggikan kelompoknya sendiri. Menurut hamba lebih baik tidak usah
mengurusi (menghakimi) tetangga (agama lain). Perbuatan semacam itu (suka
menghakimi agama lain) hanya akan menunjukkan rendahnya pemahaman diri. Saya tetap
menyukai agama lama, tetap suka menyebut Tuhan dengan nama Dewa Yang Maha
Lebih!”
Semesta ini adalah
perwujudan dari Dewa yang mempunyai sifat Maha Sadar dan Maha Berkehendak. Sudah
menjadi kewajiban manusia agar senantiasa berpegang pada Kewaspadaan diri dan
Kesadaran diri untuk terus dapat mengamati keinginan-keinginan (liar) diri sendiri
supaya tidak sia-sia dalam menjalani kehidupan. Apabila paduka memilih menyebut Nabi
Muhammad Rasulullah, (maka mohon dengarkan) , seperti yang sudah dikatakan oleh
Sunan Kalijaga bahwa sesungguhnya Muhammad itu adalah Roh yang bagaikan makam,
makam dari segala gejolak batin manusia yang buruk. Gejolak batin yang liar dan
seringkali kita agung-agungkan. Bisa juga disimbolkan sebagai kuburan, kuburan dari
segala kenikmatan ragawi, rasa kenikmatan raga yang berasal dari unsur tanah ini.
(Muhammad atau Roh disimbolkan sebagai ) Kuburan dari segala sifat badani, sifat yang hanya
ingin menikmati makanan (kenikmatan) yang enak-enak, dan sifat yang tidak merenungkan
bagaimana keberadaan diri nanti pada akhirnya (jika sudah meninggal). Benarlah
jikalau Muhamad (Roh) adalah makam kubur dari segala macam kecenderungan liar
manusia. Muhammad juga (bisa dilambangkan) sebagai Roh Idhofi, maksudnya Ruh yang dilapisi
oleh segala kecenderungan negatif. Kecenderungan negatif yang suatu saat akan
sirna kembali ke asalnya lagi (maksudnya selain bisa dianalogikan sebagai kubur/makam
segala gejolak batin manusia, Muhammad/Roh juga bisa dianalogikan sebuah
kesucian yang terlapisi kekotoran : Damar Shashangka). (Jadi apa yang dijelaskan Sunan
Kalijaga sebenarnya sama saja dengan ajaran Buda tentang Atma atau Badan
Sejati), Sekarang saya bertanya, paduka Prabhu Brawijaya memilih untuk meyakini/menganut yang mana? (Dengarkanlah
lagi, oh paduka), Adam dan Hyang Brahim
(Ibrahim ~ Adam leluhur manusia, Ibrahim leluhur orang Arab dan orang Israel) sama-sama
‘kebrahen’ (berkeinginan besar untuk memiliki keturunan banyak) saat mereka berdua masih hidup dulu. Merekalah yang
memperbanyak makhluk-makhluk fana,
makhluk fana yang sulit menemukan ‘kesejatian’ rasa, makhluk-makhluk fana yang hanya cenderung terjebak rasa badani belaka.
Makhluk fana yang disebut Muhammadun yaitu Ruh yang terlapisi kekotoran
duniawi, Ruh yang menjadi kuburan dari segala macam
gejolak batin yang liar. Ruh yang menurunkan Kesadaran kecil dan mewujud dalam bentuk manusia yang memiliki segala rasa
ini. (Bukankah sama juga dengan kisah Manu
leluhur manusia sesuai ajaran Buda?). Manakala kelak diambil kembali segala
yang fana ini (yaitu badan halus
yang memiliki kecenderungan liar dan badan kasar yang suka menikmati kenikmatan inderawi) oleh Yang Maha
Kuasa, diri paduka yang berwujud manusia
akan tinggal wujud JADI (maksudnya wujud Sejati/Ruh/Atma). Itulah wujud kita pribadi (yang sejati). Untuk bisa terlepas
dari badan halus dan badan kasar, harus dengan lantaran menjauhi segala kecenderungan buruk. Ayah dan Ibu tidak
membuat wujud Sejati ini, makanya dinamakan ‘anak’ (anak ~ ana anane dhewek :
ada dengan sendirinya :Damar
Shashangka), mewujud dengan sendirinya, menjadi dari sesuatu yang gaib dan samar, atas kehendak Lattawalhuzza
(penyebutan nama ini demi menyindir Sunan
Kalijaga, dimana umat Islam sangat membenci Lattawalhuzza. Sabda Palon sengaja menghindari penyebutan Hyang Widdhi atau
Brahman. Lattawalhuzza adalah nama
berhala yang disembah orang Arab sebelum Islam muncul dan dianggap memiliki saham dalam penciptaan manusia. Maksud Sabda
Palon sebenarnya, atas kehendak Yang Tak
Tergambarkan, diri kita adalah percikan dari Yang Tergambarkan tersebut : Damar
Shashangka). Dia-lah yang meliputi
segala wujud ini. Dan seluruh wujud ini semua sebenarnya adalah
wujud-Nya juga. Kelak segalanya akan sirna dan kembali ditarik kepada
wujud-Nya, (sesunguhnya kita ini tak ada) lantas yang paduka miliki hanya perasaan bahwa diri ini 'ada' dan berwujud sendiri
diluar wujud-Nya, itulah pemahaman keliru
yang kita bawa kemana-mana. Jika memiliki ketetapan hati yang keliru sedemikian
itu, maka pada saat kematian tiba,
akan menjadi Roh penasaran (demit) yang berkeliaran diatas tanah, menunggui jasadnya sendiri yang
sudah busuk terkubur, sungguh sia-sia. Itulah
salah satu akibat kurangnya Kesadaran dan wawasan dari sang Roh. Saat hidup dulu belum sempat memakan buah pohon Pengetahuan
dan buah pohon Kesadaran, sama saja
memasrahkan diri kelak jika meninggal untuk lahir manjadi setan (Roh
Penasaran). Memakan tanah atau
mengharap-harap manusia lain memberikan sesajian dan mengharapkan upacara selamatan untuk kematiannya
(karena hanya sesajian dan doa waktu
upacara selamatan yang dilakukan keluarganya saja yang bisa memuaskan dahaga sang Roh penasaranh tersebut : Damar Shashangka),
dan sebagai ucapan terima kasih, Roh
semacam ini akan berusaha memenuhi permintaan anak cucunya walau sesungguhnya malah membikin kesesatan bagi
mereka. Manusia yang meninggal dunia, selamat atau tidaknya tidak
berdasarkan hukum Raja duniawi;. Sudah pasti suksma (badan halus) berpisah dengan Buddhi (Kesadaran Roh). Jika perbuatannya
dulu penuh kebaikan, tentu akan
mendapatkan kemuliaan, jika sebaliknya pasti akan mendapatkan penderitaan (jadi bukan ditentukan oleh agama atau
hukum dari penguasa duniawi). (Maksud
Sabda Palon, untuk memperoleh Kesejatian, harus dimulai dengan pemahaman bahwa diri ini hanyalah perwujudan-Nya, kita ini
tak ada. Kemudian harus melakukan perbuatan
yang baik selama hidup. Kesejatian bukan didapat dari berpindah-pindah agama seperti itu : Damar Shashangka). Sekarang
jawablah jika telah meninggal anda hendak
pergi kemana (sesuai ajaran yang baru anda terima)?”
Sang Prabhu menjawab,
“Kembali ke asal mulaku, berasal dari Nur (Cahaya) akan kembali menuju Nur (Cahaya).”
Sabda Palon berkata lagi
: “Itu pemahaman manusia bingung, hidupnya sia-sia, tidak memiliki pemahaman
akan kewaspadaan diri, belum pernah memakan buah pengetahuan dan buah
kesadaran, dari satu kembali menuju satu. Apa yang paduka sebutkan bukanlah kematian
yang utama. Kematian dari manusia utama bisa dilambangkan dengan
kalimat SATUS TELUNG PULUH (Seratus tiga puluh). Makna SATUS adalah PUTUS
(Melampaui), TELU adalah TILAS (Tanpa bekas), PULUH adalah PULIH (Pulih kembali).
Seluruh wujudnya rusak, akan tetapi yang rusak adalah yang melekati Roh Idhafi.
Hidupnya abadi, hanya jasad kasar beserta suksma (jasad halus) yang terpisahkan dari
kita. Inilah hakikat Sahadat tanpa Ashadu (Kesaksian tanpa ada subyek maupun obyek yang dipersaksikan), wujud
kita kembali menjadi bagian Roh Idhafi.
Bagaikan bulan yang tenggelam, tahu kemana tepat tenggelamnya yang tepat. Demikian pula kita manusia harus tahu asal mula
tempat kita sebelum menjadi manusia. Kata
SURUP (Tengelam) mengandung makna SUMURUPA (Ketahuilah) awal, pertengahan dan akhir kehidupan ini. Jadilah
pengembara yang waspada, jangan sampai salah
saat memahami awal mula tempat kita dulu, awal mula pertama kali meenjadi manusia yang membawa SIR (Keinginan) dan CIPTA
(Pikiran) ini.”
Sang Prabhu berkata : “Pikiranku aku sandarkan kepada manusia yang lebih/mulia.”
Sabda Palon berkata :
“Itu sikap dari seorang manusia yang tersesat. Bagaikan benalu yang menempel pada
pohon-pohon besar. Tidak percaya pada diri sendiri. Mempercayai kemuliaan
orang dan menurut apa yang mereka katakan. Jika demikian halnya, paduka tak akan
dapat menemukan kematian yang utama. Hanya akan mendapatkan kematian
nista. Semenjak hidup sukanya menempel orang lain, mengikut, tidak mempercayai diri sendiri,
kelak jika meninggal-pun akan mengalami hal serupa, menjadi Roh yang
kesana-menari menempel, jika diusir lantas kebingungan, penasaran, menjadi Roh
penasaran, dan mencari tempat menempel lainnya!”
Sang Prabhu berkata lagi : “Aku berasal dari kosong akan kembali
kekosongan. Saat aku belum menjadi, tidak ada apa-apa, jadi kelak aku juga akan
menuju kepada kosong tersebut!”
Sabda Palon menjawab, “Itu kematian manusia yang tersesat, tidak memakai
iman dan ilmu (keyakinan dan pengetahuan. Sabda Palon sengaja menunjukkan
istilah-istilah Arab demi
menunjukkan bahwa dirinya juga memahami ajaran baru Sang Prabhu : Damar Shashangja). Hidup hanya seperti binatang,
hanya sekedar mencari makan dan minum
serta hanya sekedar menikmati tidur. Manusia yang demikian hanya menimbun
daging, sangat bodoh. Tidak usah mencari pengetahuan kesejatian, cukup meminum
air kencing saja sudah puas. Mereka
menganggap kelak jika meninggal sirna juga dirinya.”
Sang Prabhu : “Aku akan menjaga pekuburan, menjaga jasadku yang sudah luluh
jadi debu!”
Sabda Palon : “Itulah kematian manusia bodoh, menjadi setan kuburan,
menjaga daging dipekuburan, daging yang sudah luluh menjadi tanah. Tidak memahami
bahwa dirinya adalah Roh Idhafi. Itulah jawaban manusia bodoh, maaf paduka!”
Sang Prabhu menjawab
lagi : “Aku akan moksha beserta ragaku!”
Sabda Palon tertawa, “ Dalam ajaran agama Rasul tidak ada tuntunan meraih
moksha. Tidak ada tuntunan menarik jasad fisik, karena kebanyakan
golongan mereka terlalu memanjakan kulit daging (hukum agama semata). Dan lagi moksha
beserta raga itu tidak diajarkan dalam ajaran Buda. Manakala manusia mati dan tidak
meninggalkan jasad, berarti tidak bisa diyakinkan apakah dia memang sudah mati
atau hanya sekedar berpindah alam saja. Belum bisa dipastikan akan mewujud menjadi Roh
Idhafi murni, kebanyakan hanya akan berpindah alam kealam demit (Jin).”
Jawaban Sang Prabhu :
“Aku tidak akan memilih tujuan, aku tak akan berusaha, sudahlah terserah Yang
Maha Kuasa saja!”
Sabda Palon : “Paduka melupakan sifat kemanusiaan paduka, apakah paduka
lupa bahwa manusia dijadikan sebagai titah yang mulia. Paduka telah
meninggalkan keharusan sebagai manusia. Manusia memiliki hak untuk memilih
dan menolak. Lebih baik menjadi batu saja, jadi tidak perlu mencari ilmu kemuliaan
untuk meraih kesempurnan kematian!”
Sang Prabhu : “Aku berkehendak pulang ke
akhirat, naik surga, menghadap kepada Yang
Maha Kuasa.”
Sando Palon menjawab : Akherat, surga, semua sudah paduka bawa dalam diri
paduka, telah
paduka bawa kemanapun juga. Didalam diri manusia ini sesungguhnyasemua sudah ada, oleh
karenanya diri manusia juga disebut alam sahir (mikrokosmos) karena apa yang ada di
alam kabir (makrokosmos), juga ada didalam diri manusia. Sudah semenjak tapel Adam
(didalam kandungan usia 9 bulan), semua sudah lengkap : surga, neraka, arasy kursi.
Lantas paduka hendak pergi ke akherat yang mana? Jangan sampai tersesat, lho? Padahal
kondisi akherat (diluar diri manusia) itu mirip sekali dengan kondisi manusia yang melarat.
Banyak tingkatan akherat (yang ada diluar diri manusia), segala akherat semacam itu
sangat saya hindari, jangan sampai saya pulang ketempat yang kondisinya bagaikan
kondisi manusia melarat, jangan sampai saya menuju akherat diluar diri yang
konon disebut Negara yang adil (padahal bukan). Jikalau sampai salah tempat, pasti akan mendapat
hukuman, pasti akan diikat, disuruh kerja paksa yang berat serta tidak mendapatkan bayaran. Salah satu akherat
yang sesat adalah akherat di pulau Srenggi,
nusa artinya tempat manusia, sreng artinya kerja berat dan enggi artinya
kondisi.
Jadi disana, roh manusia dipaksa bekerja untuk
Raja Nusa Srenggi. Sungguh celaka. Sedangkan
manusia yang hidup didunia saja jikalau mengalami kondisi semacam itu, mengalami kondisi sekeluarga hanya
mendapatkan jatah beras sedikit, tanpa lauk, tanpa sayur, sudah demikian
menyedihkannya, apalagi akherat tempat manusia yang meninggal di nusa Srenggi, malah lebih menyedihkan
dari kodisi didunia. Paduka jangan mencari
jalan pulang ke akherat yang ada diluar diri, jangan mengharap-harapkan naik surga, itu bukan tempat sejati, banyak hewan yang
ada ditempat itu, semua hanya menerima
tidur dengan berselimut tanah, setiap hari harus menurut untuk bekerja paksa, malah ada yang tidak salah lantas disembelih.
Paduka jangan mencari jalan pulang ke akherat tempat Gusti Allah, (itu bohong,
sebab Gusti Allah tidak bertempat), Gusti Allah itu tak ber-Wujud dan ber-Rupa, Wujud yang bisa dikenali manusia hanya
Nama-Nya saja, (Gusti Allah itu)
meliputi dunia dan akherat, paduka belum mengenal-Nya. Yang paduka kenali hanya
perwujudan-Nya serupa cahaya bintang atau serupa cahaya bulan, atau perwujudan-Nya bagaikan dua cahaya bintang
dan bulan yang menyatu. Gusti Allah itu
tidak menyatu juga tidak pisah dengan kita, sangat jauh tanpa batasan tetapi
juga dekat namun tak bersentuhan
dengan kita. Hamba saja belum bisa menguak inti-Nya, apalagi paduka. Nabi Musa (yang diagung-agungkan
orang Yahudi, Kristiani dan Islam sebagai
Nabi yang mampu berbicara langsung dengan Allah : Damar Shashangga) saja tidak
mampu melihat Wajah-Nya. Gusti Allah itu melampaui segala yang terlihat tetapi Dzat-Nya menyelimuti segala perwujudan ini.
Paduka ini adalah manusia yang berasal dari benih Ruhani (percikan-Nya) jadi
mengapa ingin menjadi seperti Malaikat yang tinggal disurga segala? Raga manusia berasal dari nutfah (air
mani/sperma), jika sudah rusak akan
terurai kembali kepada Hyang Latawalhuzza (kembali Sabda Palon menggunakan istilah Lattawalhuzza). Jika raga
sudah tua, lebih baik meminta untuk mendapatkan raga baru (dan lahir menjadi
manusia lagi, bukan malah ingin hidup di surga), sehingga tidak bolak-balik tertunda (perjalanan
Punarbhawa/evolusi Ruh dalam wujud
selain manusia) walaupun memang harus tetap lahir dan mati. Yang dimaksud hidup sebagai makhluk itu jika nafas terlihat
masih ada, akan tetapi sesungguhnya yang disebut HIDUP itu adalah Yang Abadi, Yang Stabil dan Yang Tak Berubah
selamanya. Jadi yang mati hanya raga
semata. Raga hancur dan tidak lagi bisa merasakan kenikmatan. Oleh karenanya bagi yang beragama
Buda, manakala kematian menjelang, saat suksma (dan Hidup/Atma) keluar dari
raga, lebih baik meminta raga manusia yang baru, kembali lahir melalui
nutfah manusia (tidak malah mengharapkan lahir dialam surga menjadi makhluk lain). Diri sejati manusia ini kekal, tidak
berubah dan stabil, yang berubah itu
hanya tempat indriya/rasa (maksudnya suksma dan raga), tubuh materi yang hanya bayangan dari Roh Idhafi (Atma/Hidup) itu
sendiri.
Sesungguhnya yang dinamakan Prabhu Brawijaya itu tidak juga tua dan tidak
juga muda, abadi berada dipusat semesta, berjalan tapi tiada bergerak dari
kedudukan semula, berada didalam goa sir (kehendak) dan cipta (pikiran) yang hening
(maksudnya diselimuti oleh sir/kehendak dan cipta/pikiran : Damar
Shashangka). Bawalah bawaanmu yang sesungguhnya (Kesadaran), bawaan yang tanpa
adanya Raga. Hilang segala tulisan. Seluruh perhitungan manakala dijumlah
menjadi Kumpul (Menyatu), keterpisahan dengan
duniawi menjadikan murni. Jalan kesempurnaan kematian, fokus pada detak jantung disebelah kiri saat kematian menjelang,
disanalah jalan sirnanya sir dan cipta (kehendak
dan pikiran), kembali menuju cetha (yang nyata ~ lambang KANG GAWE URIP/Atma), cethik (yang membuat ~ lambang KANG
NGURIPI/PURUSHA/Nur Muhammad/Nukat
Gaib), cethak (yang maha tinggi ~ lambang URIP/Brahman/Allah). Inilah kesempurnaan ilmu orang Buda.
Terciptanya Roh mulai
dari cethak (yang tinggi), berhenti didalam cethik (yang membuat) keluar lewat
kalamwadi (ucapan rahasia/penis ~ atau cetha/yang nyata), hanyut dalam lautan cinta masuk kedalam goa Indrakila
wanita (Indra : Sarana merasakan sensasi
ragawi, Kila/Kukila : Burung ~ Tempat merasakan sensasi penis ~ Goa Indrakila artinya
Vagina : Damar Shashangka), jatuhnya nikmat didasar bumi kasih, disana Ki Budi (Kesadaran Roh) menciptakan istana Baitullah
(Rumah Tuhan ~ yaitu suksma dan raga
manusia) yang mulia. Tercipta dari sabda KUN (Jadi) dan berdiam ditengah
semesta disurga orang tua wanita.
Oleh karenanya manusia seyogyanya tetap berdiam ditengah semseta (maksudnya stabil Kesadarannya). Jagad
manusia itu dilekati apa yang disebut goa sir (kehendak) dan cipta (pikiran),
dibawa kemana-mana tiada juga berkurang dan usia manusia sudah ditentukan oleh karma, tidak bisa berubah, sudah
tertulis didalam Laukhil Makfudz
(Kitab Nasib. Kitab Nasib sesungguhnya adalah Alam Semesta yang merekam segala perbuatan kita : Damar
Shashangka). Keberuntungan dan Kecelakaan tergantung pada Budi (Kesadaran),
Nalar (Pertimbangan) dan Kawruh (Wawasan) kita sendiri. Yang kurang
berusaha (menimbun kebaikan), bakalan kurang pula Keberuntungannya.
Awal mula arah mata
angin, dihitung dari arah timur lantas barat, selatan dan utara. Wetan (Timur)
lambang : Wiwitan manusa maujud (awal mula manusia mewujud), Kulon (Barat) lambang :
Lelaki berhasrat untuk bercinta (Kelonan), Kidul (Selatan) lambang : Wanita disogok
bagian selangkangannya tepat ditengah (Didudul), Lor (Utara) lambang : Jabang bayi lahir (Lair).
Dilambangkan lagi TANGGAL SAPISAN KAPURNAMAN,
SENTEG SAPISAN TENUNAN SAMPUN NIGASI (KELUAR SEKALI SUDAH PURNAMA, SEKALI HENTAK TENUNAN KAIN SUDAH
MENJADI ~ Maksudnya mengambarkan
penciptaan manusia dalam sebuah persenggamaan. Sekali memancarnya sperma kedalam rahim, sudah cukup
membuat seluruh wadah bagi Roh mulai
tercipta : Damar Shashangka) Pur artinya Kumpul/Menyatu, Na artinya Adanya wujud, Ma artinya Terikat oleh wujud. Yang
dimaksud Kumpul artinya begitu memancar sperma semua lengkap menyatu,
yaitu menyatunya segala materi fisik dan materi non fisik. Keluarnya/Lahirnya manusia melalui orang tua perempuan,
bersamaan keluarnya saudara yang
bernama Kakang Mbarep (Kakang Kawah) dan Adhine Wuragil (Adhi AriAri). Kakang Mbarep tak lain adalah Kawah
(Ketuban) sedangkan Adine Wuragil tak lain adalah Ari-Ari (Usus terakhir yang menempel dipusar/tali pusar).
Keduanya muncul pertama dan terakhir kali (Ketuban pecah dulu, baru keluar
Darah, kemudian Jabang Bayi, lantas
Plasenta dan terakhir Tali Pusar atau Ari-Ari : Damar Shashangka). Ketahuilah sang paduka, saudara kita yang keluar
bersamaan dengan kita, senantiasa menjaga
kita bagaikan matahari yang terus bersinar, berwujud cahaya, membantu Kesadaran, mampu menyertai Kesadaran untuk hidup
didunia yang penuh beraneka warna perwujudan ini, saat keluar dan saat
peleburan mereka seyogyanya diketahui, inilah pengetahuan orang Jawa yang
beragama Buda. Raga ini diibaratkan perahu, sedangkan
suksma (badan halus/sadulur papat tadi) ibarat manusia yang mengendalikan perahu, yang menentukan arah hendak kemana,
jikalau laju perahu salah arah, pasti akan menemui kecelakaan, perahu pecah, yang menaiki akhirnya juga hancur.
Oleh karenanya harus
waspada dan penuh kesadaran, mumpung perahu masih berfungsi, manakala
tidak waspada dan penuh kesadaran pada saat hidup ini, mana mungkin bisa waspada dan
sadar jika sudah meninggal nanti. Sadar untuk mencari asal usul manusia. Manakala
telah rusak/mati, seharusnya suksma juga berpisah dengan Kesadaran Roh. Inilah
yang dinamakah Sahadat, pisahnya Kawula dengan Gusti. Sah bisa dimaknai Pisah, Dat bisa
dimaknai Dzat Gusti. Jikalau Raga dan Suksma telah berpisah (namun Suksma dengan
Bud/Kesadarani/Atma, belum mampu berpisah) maka Kesadaran Roh akan berganti
Baitullah (Rumah Tuhan atau Badan fisik baru ~ Punarjanma/Reinkarnasi).
Kembali hidup dengan bertalikan nafas dan wajib terus memuji kebesaran Gusti
(agar selamat dalam penjelmaan baru itu). Manakala Raga berpisah dengan Suksma
dan Suksma berpisah dengan Budi (Kesadaran Roh), maka akan menjelma kepada yang
tidak berwujud apapun, menyatu, menjadi maha besar, dan tiada akan redup cahayanya
untuk selamanya. Oleh karenanya harus senantiasa waspada, senantiasa ingat akan asal usul Kawula.
Seorang Kawula juga wajib meminta kepada Gusti,
meminta Baitullah (Rumah Tuhan/Badan manusia) yang baru dan yang lebih baik, melebihi yang sudah rusak. Raga manusia inilah
Baitullah, atau juga bisa diibaratkan Perahu
buatan Allah, menjadi dari sabda KUN. Namun, Perahu manusia Jawa mampu berganti dengan Perahu yang baru (Reinkarnasi).
Sedangkan orang Islam tidak meyakini bisa
mendapat Perahu baru, jikalau sudah meninggal nanti, maka mereka yakin tidak akan menjelma kealam dunia lagi, tak ada manusia
yang menjelma kembali, menurut mereka
jika manusia bisa menjelma, dunia akan terus bertambah dan akan penuh sesak. Kehidupan menurut mereka hanya sekedar menjadi
muda, tua dan mati saja. Ketahuilah paduka,
walaupun Roh manusia, manakala sesat perbuatannya, kelak jika meninggal akan menjelma menjadi kuwuk (binatang laut), akan
tetapi Roh hewan, bisa menjelma menjadi manusia. Semua sudah tertata dalam hukum keadilan Yang Maha Kuasa,
setiap makhluk akan mendapatkan hasil perbuatan dari apa yang dilakukannya.
Dikala Bathara Wishnu
menjelma menjadi Raja di Kerajaan Medhang Kasapta dulu, seluruh hewan dan
makhluk halus dibantu menjelma menjadi manusia, semua lantas dijadikan bala tentara
Sang Raja. Kala Eyang paduka Rsi Palasara membangun kerajaan di Gajahoya, seluruh
binatang dan makhluk halus juga dibantu menjelma mendaji manusia, oleh karenanya
waktu itu bau badan tiap manusia berbeda-beda, sesuai bau badan saat masih
berwujud hewan atau makhluk halus sebelumnya.
Tersebut dalam Serat
Tapak Hyang, yang juga disebut dengan Sastrajendrayuningrat,
Serat yang tercipta dari Sabda Kun (maksudnya berasal dari wahyu juga), yang
dinamakan JITHOK (KUDUK MANUSIA) sesungguhnya bermakna pu-JI THOK (Hanya Pujian
semata). Dewa Yang Agung, yang telah menciptakan cahaya menyala yang menyelimuti sekujur tubuh manusia
sesungguhnya ada dekat, sedekat dengan
kuduk manusia. (Kuduk manusia sangat dekat, namun sulit manusia melihat kuduknya sendiri kalau tidak bercermin). JILING
(KENING) sesungguhnya bermakna pu-JI
e-LING (Memuji dan Ingat) kepada Gusti. PUNUK (BAHU) sesungguhnya bermakna PANAKNA (TEMPATKANLAH ~ maksudnya
Tempatkanlah Kesadaran kamu pada
posisi yang sesungguhnya). TIMBANGAN (TULANG BAHU YANG MENONJOL) sesungguhnya
bermakna SALANG (Terhubung ~ maksudnya Terhubung dengan Gusti). PUNDHAK (PUNDAK) sesungguhnya bermakna PANDUK
(Mencari), hidup dialam dunia ini
hanya mencari dua hal, Buah Pengetahuan dan Buah Kuldi (Keduniawian), jika mendapatkan banyak Buah Kuldi, hasilnya akan
gemuk, jika mendapatkan Buah Pengetahuan
yang banyak, bisa dibuat bekal untuk hidup, HIDUP YANG KEKAL ABADI YANG
TIDAK TERKENA MATI. TEPAK (DADA) sesungguhnya bermakna TEPA TAPANIRA (Tetapkan Tapa-mu). WALIKAT (BELIKAT)
sesungguhnya bermakna WALIKANE GESANG
(Dibalik Hidup). ULA-ULA (TULANG BELAKANG MANUSIA) sesungguhnya bermakna ULATANA (Perhatikanlah dengan
seksama), amatilah punggungmu dengan
seksama (maksudnya amatilah sesuatu yang dekat denganmu tapi sulit untuk dilihat secara langsung seperti
halnya punggung kita). SUNGSUM (SUMSUM TULANG)
sesungguhnya bermakna SUNGSUNGEN (Persembahkanlah ~ maksudnya, Persembahkanlah kehidupanmu bagi Gusti ). LAMBUNG
sesungguhnya bermakna, Dewa Yang
Maha Agung yang menciptakan alam ini secara bersambungan, bersambungan antara INGAT-LUPA, HIDUP-MATI (maksudnya
Rwabhineda atau Dualitas duniawi). LEMPENG
(BAGIAN PINGGIR PERUT) kiri dan kanan, maksudnya Kuatkan tekad dan LEMPENG (LURUS)-kanlah tekadmu lahir batin,
luruskanlah agar bisa membedakan mana benar dan mana salah, mana baik dan mana
buruk. MATA maksudnya lihatlah semuanya
ini dengan kesatuan batin yang utuh, lihatlah kiblat yang benar, banyak kiblat namun yang benar hanyalah satu saja. TENGEN
(KANAN) maksudnya TENGENEN (Benar-benar
utamakan) hingga jelas dan terang, bahwasanya didunia ini hanya sekedar memakai Raga fana semata, Raga yang tidak
susah-susah membuat sendiri dan tidak juga beli. KIWA (KIRI) maksudnya Raga ini berisi HAWA keinginan, dan sulit
untuk dimatikan segala keinginan
tersebut. Begitulah apa yang tertulis dalam Serat.
Manakala paduka meragukan
siapakah yang membuat Raga? Siapakah yang telah memberikan nama? Sesungguhnya
tak lain hanya Lata wal Huzza (sekali lagi Sabda Palon memakai istilah Tuhan
dengan nama Latta wal Huzza). Manakala paduka tetap meragukan, jelas paduka
bisa disebut kafir, kapiran (sia-sia) kelak jika paduka meninggal. Tidak mempercayai tulisan
Gusti (yang ada didalam tubuh paduka sendiri), serta telah murtad kepada para
leluhur Jawa semua. Kelak saat mati, Roh paduka akan menempel pada besi (pusaka),
kayu, batu, menjadi demit yang menjaga tanah. Itu akan terjadi jika paduka tidak bisa
membaca serat/wahyu yang ada didalam tubuh paduka sendiri, jelas kelak jika meninggal
akan menjelma/lahir kembali menjadi kuwuk (binatang laut). Akan tetapi jika mampu membaca sastra yang tertulis
didalam tubuh paduka, berasalnya manusia akan lahir kembali menjadi manusia.
(Sungguh kelahiran kembali ini juga diceritakan
dalam ajaran Timur Tengah), salah satu contohnya konon dulu saat Kangjeng Nabi Musa hidup, ada orang yang telah meninggal
dan telah berada didalam kuburan, bisa
hidup kembali, hidupnya bahkan bisa berganti menjadi Roh yang murni, bahkan
bisa mencapai kedudukan (evolusi
jiwa) yang baru.
Jika paduka memeluk agama Islam, seluruh masyarakat Jawa pasti akan ikut memeluk agama Islam
semua. Kalau hamba ini, Badan Kasar berikut Badan Halus hamba sudah hamba
gengam dan hamba kuasai, sudah mampu hamba jadikan satu, tak ada beda mana yang disebut dalam
dan mana yang disebut luar lagi. Jadi hanya sesuai dengan keinginan hamba semata,
menghilang dalam wujud gaib (berbadan halus) maupun mewujud (berbadan kasar
seperti sekarang) bisa hamba lakukan seketika dan kapanpun juga. Jika hamba tengah
berkeinginan mewujud, inilah wujud yang hamba pilih. Jikalau hamba berkeinginan untuk
berwujud gaib, bisa terjadi seketika, jikalau hamba berkeinginan untuk
berwujud wadag, bisa terlihat seketika juga. Raga hamba ini sudah bersifat Illahi, seluruh
Raga hamba ini satu persatu memiliki nama sendiri-sendiri. Silakan ditunjuk, mana yang
disebut Sabda Palon, sudah hamba halangi dengan wujud ragawi. Begitu mewujudnya hingga
tidak bisa diketahui lagi mana sesungguhnya Sabda Palon. Hanya nama yang bisa
dikenali. Sabda Palon sesungguhnya tidak tua juga tidak muda, tidak mati juga tidak
hidup, hidupnya meliputi matinya dan matinya meliputi hidupnya, abadi selama-lamanya.”
Sang Prabhu bertanya :”Dimanakah Tuhan Yang Sejati?”
Sabda Palon menjawab:
“Tiada jauh juga tiada dekat, paduka adalah perwujudanNya, dinyatakan telah
menyatu, Budi (Kesadaran), Hawa (Keinginan) dan Badan (Jasad Fisik), ketiganya adalah
sarana-Nya mewujud. Tiada terpisah, akan tetapi tidak juga menyatu. Sesungguhnya
paduka adalah Raja Yang Utama, pastilah akan memahami apa yang hamba ucapkan!”
Sang Prabhu berkata
lagi: “Apakah dirimu tidak menuruti aturan agama ?”
Sabda Palon menjawab sedih : “Hamba menuruti aturan agama yang lama,
kepada agama yang baru hamba tidak menuruti. Apa sebabnya paduka memutuskan berpindah
agama akan tetapi tidak meminta pertimbangan kepada hamba? Apakah paduka
lupa akan arti nama hamba Sabda Palon? Sabda artinya Ucapan, Palon : artinya
Ketetapan. Naya artinya Wajah, Genggong : Langgeng tak berubah. Jadi ucapan hamba
ini, adalah ketetapan bagi wajah/bentuk dari tanah Jawa, langgeng selamanya!”
Sang Prabhu berkata : “Bagaimana ini, aku sudah terlanjur memeluk agama
Islam, sudah disaksikan oleh Sahid, aku tidak boleh kembali memeluk agama Buda
lagi. Akan memalukan dan ditertawakan bumi serta langit (jika aku tidak
konsekwen)!”
Sabda Palon berkata : “Sudah terlanjur, silakan paduka jalani sendiri,
hamba tidak ikut-ikut.”
Sunan Kalijaga lantas
berkata kepada Sang Prabhu, yang isinya menyarankan agar tidak perlu berfikir
macam-macam, sebab agama Islam itu adalah agama yang mulia. Sunan Kalijaga memohon
ijin untuk menjadikan air didalam danau sebagai tanda bukti, bagaimanakah nanti
baunya. Jika air danau nantinya bisa berbau wangi, itu berarti Sang Prabhu sudah mantap
memeluk agama Rasul. Sunan Kalijaga lantas menyabda air danau dan seketika berbau
wangi dan harum. Sunan Kalijaga berkata kepada Sang Prabhu, sebagaimana sudah
terbukti, jikalau Sang Prabhu nyata telah mantap memeluk agama Rasul, tandanya air danau
berbau harum.
Berkata Sabda Palon
kepada Sang Prabhu : “Ini hanya kesaktian belaka. Kesaktian kecil yang hanya seimbang
dengan air kencing hamba. Kesaktian seperti ini dipamerkan didepan hamba. Jikalau saya imbangi, sama saja
sama melawan air kencing hamba sendiri, apa
yang hendak saya perebutkan? Paduka sudah terlanjur terkecoh, sudah berkehendak menjadi manusia yang sekedar
menumpang, tidak memiliki ketetapan hati, sukanya hanya ikut-ikutan.
Sungguh tiada guna hamba momong paduka selama ini, hamba malu kepada bumi dan langit, telah momong manusia bodoh, HAMBA
HENDAK MENCARI MOMONGAN LAIN YANG
HANYA BERMATA SATU, hamba sudah tidak akan
momong paduka lagi. Jikalau hamba mau, air danau ini akan hamba jadikan minyak wangi dengan lantaran kentut hamba saja.
Ketahuilah, yang disebut MANIKMAYA oleh masyarakat Jawa itu tak lain adalah
hamba ini! Yang menciptakan kawah diatas gunung Mahameru dulu adalah hamba. Adi Guru (Bathara Shiwa) yang memberikan
ijin-Nya. Pada waktu itu tanah
dipulau Jawa masih belum stabil. Didalam tanah mengeram api yang siap keluar setiap saat. Oleh karenanya,
hamba kentuti setiap puncak gunung agar supaya api tersebut bisa mengalir dari sana saja. Oleh karenanya, tanah
Jawa lantas menjadi stabil dan
banyak gunung di Jawa yang aktif memiliki kawah berapi, berisi air panas dan air tawar. Hamba yang membuat sedemikian
itu dulu. Semua atas kehendak Lata
wal Huzza, yang telah menciptakan bumi dan langit. Apa kurangnya agama Buda? Setiap pemeluknya bisa memohon sendiri kepada Yang
Maha Kuasa. Percayalah, jikalau paduka berganti agama Islam,
meninggalkan agama Buda, keturunan paduka akan senantiasa dalam kesusahan, Jawa hanya tinggal nama, Jawa-nya hilang
dan sukanya akan mengikut bangsa
lain. Tapi kelak suatu saat akan diperintah oleh orang Jawa yang memahami (ajaran leluhur lagi)!”
“Silakan paduka
buktikan, kelak sebelum menjelang purnama jarang diikuti tampaknya bulan mulai tanggal pertama, biji padi
banyak yang susah tumbuh, ditolak oleh
para Dewa, dipaksa untuk ditanampun akan tumbuh menghasilkan biji Mriyi (padi kecil), hanya bisa dibuat makanan burung. Mriyi
itu padi yang tidak enak rasanya, hal ini dikarenakan paduka telah berbuat kurang tepat, mengikut menyembah batu. Buktikanlah, kelak tanah Jawa berubah hawa-nya,
terasa lebih panas dan kurang hujan, berkurang hasil pertanian, banyak manusia
yang suka berbohong, suka berbuat nista dan mudah mengucap janji. Hujan tiba tapi salah waktu, membuat kebingungan
para petani. Mulai hari ini, hujan
akan berkurang, sebab merupakan hukuman bagi manusia Jawa yang berani berpindah keyakinan. Kelak jika sudah
kembali Kesadaran-nya, sudah ingat kepada
agama Buda lagi, serta manusia Jawa sudah gemar mencari buah Pengetahuan lagi, Tuhan akan memberikan ampunan, suasana Jawa
akan makmur tenteram kembali seperti
jaman Buda lagi!”
Mendengar ucapan Sabda Palon, Sang Prabhu dalam hati merasa menyesal
telah berpindah agama. Hingga lama tak bersuara, lantas berkata, mengapa
dirinya tertarik kepada agama Islam karena terpikat ucapan putri Champa, yang mengatakan bahwasanya kelak manusia
yang memeluk agama Islam jika meninggal akan mendapatkan surga yang
melebihi surga orang kafir.
Sabda Palon menjawab,
sudah semenjak dahulu, jika suami terlalu menuruti istri, pasti akan menemukan
kesengsaraan. Karena wanita ibaratnya adalah tempat rasa (penuh emosi), jarang yang bisa
menggunakan penalaran tanpa terbalut emosinya, Sabda Palon menasehati banyak hal
kepada Sang Prabhu.
Sang Prabhu berkata
:”Kamu nasehati bagaimanapun juga sudah tiada guna lagi, semua terlanjur.
Sekarang, sekali lagi aku hendak menanyakan ketetapan hatimu. Diriku sudah terlanjur masuk agama Islam dan telah
disaksikan oleh si Sahid, sudah tidak mungkin
lagi kembali ke Buda lagi.”
Sabda Palon mengatakan hendak berpisah. Manakala ditanya hendak pergi kemana, menjawab tidak
hendak pergi jauh tapi sudah tidak bertempat di Jawa lagi. Karena bagaimanapun untuk
memegang tugasnya sebagai Semar, tetap juga akan meliputi Jawa walau
tiada terlihat nyata. Sang Prabhu diberikan janji, JIKA KELAK ADA MANUSIA JAWA BERNAMA
TUA, BERSENJATAKAN KAWRUH (PENGETAHUAN KESADARAN) DIALAH YANG DI MOMONG SABDA
PALON, MANUSIA JAWA YANG SUDAH KEHILANGAN JAWANYA AKAN DIAJARI AJARAN BENAR DAN SALAH
LAGI!
Sang Prabhu berkehendak ingin merangkul Sanda Palon dan Naya Genggong,
akan tetapi keduanya sirna seketika itu juga. Sang Prabhu terkejut dan tak
terasa keluarlah buliran air
bening dari matanya, lantas kemudian berkata kepada Sunan Kalijaga : “Kelak dikemudian hari, negara Blambangan akan
berganti nama Banyuwangi. Akan menjadi
pengingat bahwasanya kelak Sabda Palon akan pulang ke Jawa sembari membawa momongannya. Sekarang dia ada ditanah
seberang!” Sunan Kalijaga lantas disuruh
mengamati air danau, jikalau bau wangi akibat disabdakan oleh Sunan Kalijaga tadi hilang , maka itu pertanda, kelak orang Jawa
akan meninggalkan agama Islam dan berganti
agama Kawruh (Pengetahuan).
Sunan Kalijaga lantas membuat bumbungan dari bambu dua buah, yang satu
diisi air tawar dan yang satu diisi air danau. Air danau nanti akan dijadikan
pertanda, jikalau bau wanginya hilang, maka orang Jawa kelak akan berpindah agama Kawruh (Pengetahuan). Bumbungan
setelah diisi air, lantas ditutup menggunakan daun Pandhan Sili, lantas dibawa oleh
dua orang murid Sunan Kalijaga.
Sang Prabhu berikut
rombongan lantas berangkat diikuti oleh Sunan Kalijaga dan muridnya. Perjalanan
terhalang malam, lantas bermalam di daerah Sumberwaru. Waktu pagi bumbungan dibuka,
air dicium masih berbau wangi, perjalanan lantas dilanjutkan. Sore menjelang, telah
sampai di Panarukan, Sang Prabhu berikut rombongan bermalam disana. Pagi harinya, air
didalam bumbungan dibaui masih wangi, Sang Prabhu lantas melanjutkan
perjalanannya.
Saat sore menjelang,
sampailah di daerah Besuki. Sang Prabhu beserta rombongan bermalam disana. Keesokan
paginya, bumbungan air dibuka lantas dicium, baunya malah semakin bertambah wangi.
Sang Prabhu melanjutkan perjalanan hingga matahari hampir tenggelam diufuk
barat dan sampai didaerah Prabalingga (Probolinggo). Disana Sang Prabhu beserta
rombongan bermalam, keesokan paginya air diperiksa kembali. Air tawar dalam
bumbungan yang satu masih terasa segar untuk diminum, namun nampak berbusa. Dan busanya-pun
berbau harum. Air tawar dalam bumbungan tersebut hanya tinggal sedikit, karena
kerap kali diminum disepanjang perjalanan. Akan tetapi bumbungan yang berisi
air danau, manakala diperiksa airnya berubah berbau tidak enak sama sekali.
Mendapati perubahan itu, air danau dalam bumbungan seketika langsung dibuang. Sang Prabhu lantas
berkata kepasa Sunan Kalijaga : “Didaerah Prabalingga (Probolinggo) ini kelak
akan dikenal dengan dua nama, yaitu Prabalingga (Probolinggo) dan Bangerwarih. Tempat
ini kelak akan menjadi tempat berkumpulnya manusiamanusia yang suka
mencari ilmu kepintaran dan ilmu kebatinan. Kata Prabalingga bisa diartikan
pula ‘PRABA-wane wong Jawa ka-LING-an prabawane tang-GA’ (Kharisma
manusia-manusia Jawa terhalang oleh kharisma yang berasal dari tetangga
diseberang).” Sang Prabhu beserta rombongan lantas melanjutkan perjalanannya. Tujuh
hari kemudian telah sampai di Ampelgadhing (Ampeldhenta ~ Surabaya). Nyai Ageng
Ampelgadhing segera menyambut kedatangan Sang Prabhu. Nyai Ampelgadhing lantas
memberikan sembah bakti sembari meratapi segala hal yang telah terjadi.
Sang Prabhu lantas berkata : “Sudahlah jangan menangis, ngger (anakku), anggaplah semua ini
adalah kehendak Yang Maha Kuasa. Diriku dan kamu hanya sekedar menjalani, semua hal yang
telah terjadi sudah tertulis didalam Lokhilmakpul (Laukhil Makhfudz) sebelumnya.
Keberuntungan dan celaka sungguh tidak bisa dihindari. Sudah kewajiban manusia untuk
melakukan usaha.”
Nyi Ageng Ampel lantas menuturkan kepada Sang Prabhu tentang kelakuan Prabhu Jimbun seperti yang
sudah diterangkan didepan. Sang Prabhu lantas memerintahkan agar
memanggil Prabhu Jimbun. Nyi Ampel lantas mengirimkan utusan ke Demak sembari membawa surat undangan.
Sesampainya di Demak, surat segera dihaturkan
kepada Sang Prabhu Jimbun. Tidak menunggu waktu lama Prabhu Jimbun segera
berangkat menghadap ke Ampel.
Tersebutlah putra Raja
Majapahit, yang bernama Raden Bondhan Kajawan yang tinggal di Tarub. Dia mendengar kabar jikalau
Majapahit telah dijebol oleh Adipati Demak. Sang Prabhu konon berhasil lolos
dari dalam istanadan tidak diketahui lagi kemana
perginya. (Raden Bondhan Kajawan) merasa tidak tenang hatinya, lantas berangkat ke Majapahit. Disepanjang perjalanan,
Raden Bondhan Kajawan senantiasa bertanya dan mencari-cari kabar
dimanakah kira-kira Prabhu Brawijaya sekarang berada.
Sesampainya di Surabaya, mendapat berita bahwasanya ayahanda Prabhu tengah berada di Ampel, akan tetapi jatuh sakit. Raden
Bondhan Kajawan lantas menghadap dan memberikan
sembah baktinya.
Sang Prabhu bertanya :
“Yang memberikan sembah ini siapa?”
Raden Bondhan Kajawan menjawab bahwasanya dirinyalah yang tengah menghadap.
Sang Prabhu lantas merangkul putranya. Sakit Sang Prabhu semakin parah, merasa kalau dirinya
sudah dekat hendak berpulang ke jaman keabadian, Sang Prabhu berpesan kepada Sunan
Kalijaga : “Sahid, mendekatlah kemari. Diriku sudah merasa hendak berpulang ke jaman
keabadian. Tulislah surat untuk dikirimkan ke Penging dan Pranaraga (Ponorogo).
Nanti akan aku bubuhkan tanda tangan disana. Tulislah bahwasanya agar mereka
menerima kehancuran Majapahit, jangan saling berebut tahta, semua ini sudah menjadi
kehendak Yang Maha Suci. Jangan saling memerangi, hanya akan membuat kerusakan
semata. Sayangkanlah kerusakan dan kerugian yang akan diderita oleh para
pengikut. Menghadaplah ke Demak. Sepeninggalku, agar supaya rukun dengan saudara. Siapa
saja yang memulai membuat kejahatan, aku benar-benar memohon kepada Yang Maha Kuasa,
agar kalah perangnya!”
Sunan Kalijaga
lantas menulis surat seperti yang diperintahkan, setelah surat selesai ditulis, kemudian diberi tanda tangan
oleh Sang Prabhu. Surat dikirimkan ke Pengging
dan Pranaraga (Ponorogo).
Sang Prabhu lantas berkata : “Sahid, sepeninggalku dirimu harus bisa
momong anak cucuku. Terutama aku titipkan anak ini. Momonglah hingga seluruh
keturunannya. Jika memang nanti ada keberuntungan bagi dirinya, kelak anak inilah yang
akan menurunkan
‘LAJERE TANAH JAWA’ (Tokoh-tokoh kuat di Tanah Jawa sesudah Majapahit). Dan lagi pesanku kepada kamu, jikalau
nanti aku sudah berpulang ke jaman keabadian,
makamkan aku di Majapahit, buatkanlah aku makam di sebelah utara timur kolam segaran. Namailah makamku Sastrawulan. Dan
sebarkanlah berita bahwasanya yang
dimakamkan disitu adalah istriku Putri Champa. Pesanku lagi, bagi keturunanku kelak jangan sampai menikahi orang berbeda
bangsa, dan juga jangan mempercayakan jabatan senopati kepada lain bangsa.”
Sunan Kalijaga setelah mendapatkan pesan semacam itu lantas bertanya :
“Apakah Sang Prabhu tidak memberikan restu kepada putra paduka Prabhu Jimbun
untuk bertahta sebagai Raja ditanah Jawa ini?”
Sang Prabhu menjawab : “Aku memberikan restu,
akan tetapi restuku hanya berhenti sampai
pada keturunannya yang ketiga!”
Sunan Kalijaga meminta
penjelasan mengapakah makam sang Prabhu kelak harus diberinama Sastrawulan.
Sang Prabhu menjawab :
“Sastra maksudnya adalah Tulisan, Wulan artinya pelita dunia, ini melambangkan
keutamaanku hanya seperti cahaya bulan (tidak stabil seperti matahari). Jikalau masih
ada cahaya bulan, kelak, biar semua orang Jawa tahu bahwa saat aku meningal dunia,
diriku telah memeluk agama Islam. Dan aku meminta padamu agar kelak dikabarkan
bahwa yang dimakamkan disana adalah Putri Champa, bukan diriku, sebab diriku
telah dianggap bagaikan seorang wanita (disepelekan) oleh si Patah, tidak lagi dianggap
sebagai seorang lelaki, hingga sedemikian teganya Patah menyianyiakan ayahandanya
sendiri. Diriku hanya memberikan restu kepada Raja Demak hanya sampai keturunan ketiga,
sebab Patah berasal dari tiga benih, yaitu Jawa (Sang Prabhu Brawijaya), China (ibu
Raden Patah Eng Kian) dan Raksasa (Adipati Arya Damar ~ Adipati Arya Damar adalah
keturunan Ni Endang Sasmitapura, penganut ajaran Tantra Bhairawa yang dalam ritualnya
menyertakan memakan daging mayat dan meminum darah manusia, sehingga disebut
Raksasa : Damar Shashangka), oleh karenanya tega kepada ayahnya sendiri
serta kotor tingkah lakunya. Pesanku, jangan sampai keturunanku mendapatkan
jodoh lain bangsa, sebab dengan menikahi bangsa lain, disetiap kesempatan
pastinya sedikit demi sedikit akan memberikan pengaruh dan menggoyahkan keyakinan
yang sudah dipegangnya, hal ini akan menciptakan kesengsaraan hidup. Dan
pesanku yang terakhir agar jangan sampai mempercayakan jabatan senopati kepada
lain bangsa, sebab pastinya kurang kesetiaannya kepada Raja. Dikala tengah menghadapi
pertempuran, pasti akan terbagi kesetiaannya. Sudahlah Sahid, semua pesanku tulislah!”
Selesai memberikan
wasiat, Sang Prabhu segera bersendekap, dan meninggal dunia. Jenasahnya lantas
dimakamkan di Astana Sastrawulan, Majapahit. Hingga hari ini, terkenal bahwasanya yang
dimakamkan disana adalah Putri Champa, padahal sesungguhnya Putri Champa
wafat di Tuban, makamnya berada di Karang Kumuning.
Tiga hari kemudian, Sang
Sultan Bintara baru hadir ke Ampelgadhing serta bertemu dengan Nyai
Ageng.
Nyai Ageng berkata
:”Sudah menjadi nasibmu Prabhu Jimbun, dirimu tidak bisa melihat detik-detik
terakhir ayahandamu meninggal sehingga tidak sempat memberikan sembah bakti serta
meminta restu untuk bertahta sebagai Raja. Dirimu juga tidak sempat memohon maaf atas segala
kesalahan yang telah kamu lakukan.”
Prabhu Jimbun mengatakan kepada Nyai Ageng, dirinya sudah pasrah kepada nasib, semua sudah
terjadi dan semua harus dijalani.
Sultan Demak berada di Ampel selama tiga hari lantas pulang.
Tersebutlah Adipati
Pengging dan Adipati Pranaraga (Ponorogo) yaitu Adipati Andayaningrat IV di
Pengging dan Adipati Bathara Katong di Ponorogo, sudah mendengar bahwasanya
negara Majapahit berhasil dijebol oleh Adipati Demak dengan cara berpura-pura
hendak memperingati hari raya Islam di Ampel. Sang Prabhu beserta Raden Gugur konon berhasil
meloloskan diri dari istana. Tidak diketahui kemana kepergiannya.. Kemarahan
Adipati Pengging dan Adipati Pranaraga (Ponorogo) tak terbendungkan lagi. Oleh
karenanya, mereka masing-masing telah mengumpulkan kekuatan untuk menggempur
Demak. Berkehendak untuk berbakti kepada Ayahanda Prabhu sekaligus hendak
merebut tahta. Seluruh prajurid sudah siap sedia dengan persenjataan tempur
lengkap, tinggal diberangkatkan. Akan tetapi, utusan Sang Prabhu Brawijaya datang.
Adipati Pengging dan Adipati Pranaraga (Ponorogo), begitu selesai membaca isi surat, segera disembahnya surat
tersebut dengan hati yang benar-benar teriris
dan perih. Mereka hanya bisa menggeram marah dengan gigi bergemeretakan! Wajah mereka memerah bagai api! Hingga keluarlah
ucapan sumpah dari mereka, bahwasanya
semoga mereka tidak hidup lebih lama lagi agar tidak menanggung malu berkepanj angan.
Kedua Adipati tidak bersedia menghadap ke Demak. Dikarenakan sangat sedih
hatinya, sehingga keduanya jatuh sakit. Tidak berapa lama kemudian mereka
meninggal dunia. Menurut kabar berita, kematian Adipati Pengging dan Adipati
Pranaraga (Ponorogo) dikarenakan karena telah ditenung oleh Sunan Giri. Hal ini
dilakukan agar kelak tidak menjadi penghalang dikemudian hari.
Kedua Adipati tidak bersedia menghadap ke Demak. Dikarenakan sangat sedih
hatinya, sehingga keduanya jatuh sakit. Tidak berapa lama kemudian mereka
meninggal dunia. Menurut kabar berita, kematian Adipati Pengging dan Adipati
Pranaraga (Ponorogo) dikarenakan karena telah ditenung oleh Sunan Giri. Hal ini
dilakukan agar kelak tidak menjadi penghalang dikemudian hari.
Cerita kehancuran Majapahit sesungguhnya penuh dengan perlambang (simbolisme). Sungguh
tidak masuk diakal sehat manakala negara sebesar itu, yang luas jajahannya hancur
dikarenakan kekuatan-kekuatan mukjijat Wali. Simbolisme dibuat juga dikarenakan para
pujangga malu menceritakan kejadian permusuhan antara anak melawan ayahnya sendiri. Beberapa perlambang
(simbolisme) kehancuran Majapahit yang dibuat
oleh para bijak adalah sebagai berikut :
1. Dikarenakan kekeramatan
para Wali, keris milik Sunan Giri manakala dihunus keluarlah berjutajuta
tawon yang menyengat prajurid Majapahit sehingga menimbulkan kekalahan.
2. Badhong (penutup
kemaluan) milik Sunan Cirebon (Sunan Gunungjati) manakala dikibaskan keluar
beribu-ribu tikus yang memakan perbekalan serta makanan kuda prajurid Majapahit,
sehingga menimbulkan bubarnya mereka karena melihat begitu banyaknya tikus
3.
Peti yang dibawa dari Palembang (ceritanya konon
diberikan oleh Adipati Arya Damar) manakala dibuka ditengah pertempuran keluar
demit (mnakhluk halus)- nya. Prajurid Majapahit geger tewas karena diteluh
oleh para demit (makhluk halus).
4.
Konon Sang Prabhu Brawijaya meninggal secara MEKRAD/MEKRAT (Wafat tanpa meninggalkan jasad di Gunung Lawu)
Kyai Kalamwadi
selanjutnya menjelaskan beberpa simbolisme diatas kepada muridnya yang bernama Darmagandhul seperti
dibawah ini :
Itu semua hanyalah cerita simbolik semata, sesungguhnya jatuhnya
Majapahit ceritanya seperti yang sudah aku paparkan diatas. Nagara Majapahit itu
bukanlah sebuah barang remeh temeh yang mudah dihancurkan dan dirusak, tidaklah mungkin
hancur hanya karena dikeroyok sepasukan tikus. Yang masuk akal adalah, tawon
bisa bubar manakala kayu-kayu tempat bersarang mereka dirusak oleh manusia. Para
demit (makhluk halus) bisa pula bubar manakala hutan-hutan dijarah oleh
manusia. Akan tetapi jika Majapahit bisa rusak hanya karena tawon, tikus
dan demit (makhluk halus), siapa yang bisa percaya? Mereka yang mempercayainya
berarti manusia yang pendek nalarnya, sebab cerita yang
sedemikian itu tidaklah masuk diakal dan tidaklah sesuai dengan nalar manusia. Semua cerita
itu hanya sekedar simbolis belaka. Jika diceritakan apa adanya berarti bisa membuka
rahasia kehancuran Majapahit itu sendiri. Tetapi, sedikit dari simbol-simbil itu akan
aku jelaskan disini.
Binatang yang bernama tikus itu berwatak suka memakan segala, jika
dibiarkan saja lama-lama akan menjadijadi, maksudnya : para ulama pada jaman
dahulu, pertama kali datang meminta perlindungan kepada sang Prabhu Majapahit, akan
tetapi manakala sudah diberi perlindungan, balasannya malah merusak. Sedangkan tawon
adalah binatang yang membawa madu yang manis, senjatanya ada dipantat, kediamannya ada
dilobang pohon atau tempat bercelah yang tinggi, maksudnya : pertama kali datang
dengan ucapan yang manis, akan tetapi ujung-ujungnya menyengat dari belakang,
kediaman tawon diberi nama tala, bisa diartikan ‘MEN-TALA (TEGA)’ merusak
Majapahit, siapapun yang mendengar hal ini akan keheranan.
Sedangkan demit (makhluk halus) yang berada didalam peti yang dibawa dari
Palembang, setelah peti dibuka menimbulkan bunyi menggelegar, maksudnya :
Palembang itu berarti bisa diartikan ‘MLEMBANG (GOYAH)’, dimana orang-orangnya
gampang berpindah agama. Peti sendiri berarti tempat yang tertutup untuk menutupi
benda yang samar, demit (makhluk halus)-pun berarti samar, rahasia, tersembunyi,
demit juga cenderung suka meneluh. Maksudnya adalah sebagai berikut : Kehancuran
Majapahit akibat diteluh dengan rapi dan tersembunyi, jelasnya saat hendak
melakukan penyerangan tidak ada tersiar berita apapun, berpura-pura hendak
mengadakan perayaan gerebeg maulid, mengejutkan kedatangannya. Prajurid Majapahit
tidak melakukan persiapan sama sekali, tahu-tahu Adipati Terung telah membantu
Adipati Demak.
Tidak ada kerajaan besar
semacam Majapahit yang kehancurannya hanya karena disengat oleh tawon
serta diserang oleh tikus, apalagi bubarnya prajurid hanya karena diteluh oleh demit
(makhluk halus) semata.
Kehancuran Majapahit
menimbulkan suara menggelegar, hingga terdengar sampai kemana-mana. Terdengar
jikalau hancurnya dikarenakan dijebol oleh putra sang Prabhu sendiri dengan dibantu
oleh delapan Wali, semua berkhianat kepada sang Raja.
Dan lantas Kyai Kalamwadi menjelaskan : Menurut guruku Raden Budi
Sukardi, sebelum Majapahit runtuh, burung bangau tidak ada yang berbulu kuncir dikepalanya.
Manakala negara sudah berpindah ke Demak, keadaan berubah, muncul burung
bangau dengan bulu kepala berkuncir.
Ini adalah sindiran dari Sang Maha Gaib bagi Prabhu Brawijaya, kebo
kombang atine entek dimangsa tuma kinjir (kerbau kumbang hatinya habis dimakan
kutu-kutu babi hutan). Kerbau melambangkan Raja yang kaya raya, kumbang melambangkan
suaranya hanya bisa berdengung saja, suara Prabhu Bnrawijaya menyaksikan
kehancuran Majapahit dengan hati yang habis terkikis dan hanya bisa menggeram tak
mampu berbuat apa-apa, tidak melakukan perlawanan. Sedangkan kutu babi hutan (tuma
kinjir : kutu yang biasa menempel dibulu babi hutan : Damar Shashangka), TUMA (KUTU)
artinya TUMAN (KETERLALUAN), CELENG (BABI HUTAN) artinya berada dibawah, menggambarkan manakala
Raden Patah saat datang pertama kali ke Majapahit menghaturkan sembah
bakti kepada ayahandanya, lantas diberikan kedudukan, telah mendapatkan hati dari
Sang Prtabhu, akan tetapi pada akhirnya mengobarkan peperangan merebut
tahta, tidak menimbang salah dan benar, membuat habis hati Sang Prabhu.
Sedangkan burung bangau yang berkuncir adalah
sindiran bagi Sultan Demak yang telah
menyia-nyiakan ayahanda Prabhu sendiri, mentang-mentang beliau beragama Buda
(Shiwa Buddha) totok kafir kufur, oleh karenanya Gusti Allah menyindir dengan munculnya burung bangau yang berkucir bulu
kepalanya. Sindiran itu bermaksud, lihatlah
leher belakangmu sendiri, ibumu sendiri berasal dari China, tidak sepatutnya berlaku sia-sia kepada orang lain bangsa. Sang
Prabhu Jimbun itu memiliki benih dari tiga
orang, yang pertama benih Jawa, tak lain benih dari Sang Prabhu Brawijaya, oleh
karenanya Sang Prabhu Jimbun
mempunyai kecenderungan ingin menjadi Raja yang berkuasa. Cenderung pada kekayaan karena mempunyai benih dari China,
sedangkan cenderung berani tapi
tanpa perasaan akibat mempunyai benih dari Sang Arya Damar, sebab Arya Damar ibunya adalah seorang raksasa
(penganut ajaran Tantra Bhairawa : Damar
Shashangka), suka menghisap darah, kelakuannya suka menyakiti. Oleh karenanya muncul burung bangau berkuncir itu semua
atas kehendak Allah. Bukan hanya Sultan
Demak saja yang disindir agar menyadari kesalahannya, akan tetapi seluruh para Wali yang lain juga disindir agar menyadari
kesalahannya. Jikalau tidak juga segera menyadari kesalahan yang telah dibuat, akan menangung dosa lahir batin.
Oleh karenanya sebutan Wali bagi
orang Jawa juga bisa diartikan WALIKAN (BERBALIK), diberi kebaikan balasannya malah membalas dengan
kejahatan.
Sedangkan adanya orang China datang ke Jawa itu dikarenakan, dahulu kala,
saat para
orang-orang bijak di Jawa belum begitu banyak pengetahuannya, saat mereka meninggal dunia, suksma mereka banyak yang
terbawa angin dan lahir kembali di tanah China. Oleh karenanya lantas rindu untuk pulang kembali ke tanah Jawa.
Dengan demikian, orang-orang China
yang datang ke Jawa sesungguhnya dulu suksma mereka pernah hidup di Jawa.
Kyai Kalamwadi
meneruskan penuturannya : “Adapun menurut guruku Rahaden Budi Sukardi adalah
seperti ini : Ibadah yang bisa diterima oleh Allah harus bersandarkan Dharudhemble. Kata DHAR maksudnya
WUDHAR (TERURAI), RU maksudnya RUWET lan
RUNGSIT (KUSUT dan MISTERIUS). Sedangkan DHEMBLE maksudnya DHEMBEL DADI SIJI (MENGUMPUL JADI SATU).Jikalau sudah menyadari kesatuan hukum, syari’at, thariqah,
haqiqat dan ma’rifat, disanalah pepujian tanpa ucapan berlaku. Sarak (Syar’i : Hukum/Aturan) adalah syarat untuk
hidup dimasyarakat, disana terletak
aturan untuk tidak melakukan, apa yang harus dilakukan, bagaimana berusaha yang benar dan bagaimana
memperoleh penghidupan yang benar. Syari’at
itu lebih meningkat lagi, sebuah aturan untuk diri sendiri dan orang lain yang sudah menyentuh peningkatan kesadaran (saringane
kawruh agal alus : alat penyaring segala
hal yang bersifat kasar [badani] dan halus [rohani] ), Thariqat adalah sarana
untuk menimbang hal yang benar dan
salah serta sudah betul-betul dijalankan dalam pola perilaku sehari-hari, Haqiqat adalah keadaan
manakala kita sudah menyadari wujud ini semua adalah atas kehendak
Allah. Segalanya yang menggerakkan Kesadaran hanya Allah. Tingkatan Haqiqat adalah tingkatan seseorang yang sudah
menyadari dan tidak khilaf bahwa
semua ini hanya wujud Allah. Jikalau dirimu sudah memahami makna DHARUDHEMBLE,
pasti akan puas dengan kesadaran yang bakal kamu dapatkan. Sudah memakan buah pengetahuan dan buah kesadaran
sekaligus. Sembahmu bagaikan besi
yang dibakar didalam bara api, setelah membara akan hancur dengan api dan menyatu. Yang Di sembah dan yang menyembah sudah
manunggal dan menyatu, DHEMBLE
(KUMPUL) menjadi satu. Jikalau dirimu sudah bisa memahami makna apa yang aku ucapkan, pasti segera kamu akan
ber-munajad. Bagaikan orang yang mengincar burung dengan sumpit, jika tak tahu letaknya burung ada dimana, jelas
tidak akan kena sasaran. Saat
melepaskan sumpitan hanya ngawur belaka. Pengetahuan manusia yang cerdas tidak sulit dikenali, semua itu keluar dari
otak. “(Maksudnya, pengetahuan rasional tidak sulit dipelajari, karena itu hasil oleh pikir. Tapi pengetahuan
rohani, susah untuk dikenali, hanya
bisa dijalani. : Damar Shashangka)
Darmagandhul berkata, mohon untuk dijelaskan tentang hal Nabi Adam dan
Ibu Hawa yang telah dikutuk oleh Tuhan disebabkan karena memakan buah pohon Pengetahuan yang ditanam
ditengah taman Firdaus. Ada juga kitab yang menerangkan, yang dimakan Nabi Adam
dan Ibu Hawa adalah buah Khuldi, yang ditanam di Surga. Oleh karenanya mohon
dijelaskan, jikalau menurut orang Jawa bagaimana, mengapa yang mencatat hanya
Kitab dari ‘Arab (Al-Qur’an) dan Kitab orang Srani (Orang Srani : Nashrani).
Kyai Kalamwadi lantas menjelaskan. Didalam kitab Jawa tidak diceritakan
hal yang sedemikian itu. Kitab sejarah Jawa yang menghubungkan manusia Jawa
keturunan Adam, hanya Kitab Manik Maya saja.
Kyai Kalamwadi lantas melanjutkan : “Setelah kitab-kitab agama Buda
banyak yang dibakar dikarenakan takut menjadi penghalang perkembangan agama
Rasul (Islam). Bahkan kitab-kitab yang disimpan oleh beberapa orang secara
sembunyi-sembunyi, juga dipaksa untuk diambil dan dibakar. Hal itu terjadi
setelah runtuhnya Majapahit. Siapa yang tidak mau memeluk agama Islam boleh
dijarah harta bendanya, oleh karenanya banyak manusia Jawa yang
ketakutan atas kebijakan Raja yang demikian ini. Sedangkan mereka yang mau memeluk
Islam, kebanyakan diberi hadiah pangkat atau tanah bahkan ada juga yang dibebaskan dari pajak. Oleh
karenanya masyarakat Majapahit banyak yang
memeluk agama Islam, selaik takut juga karena tergiur iming-iming hadiah. Pada
saat itu Sunan Kalijaga berinisiatif, kearifan leluhur agar jangan sampai
terputus, lantas menciptakan kreasi
wayang kulit, sebagai media pengganti catatan dalam kitab-kitab kuno yang sudah banyak dibakar. Pada saat jaman
Mataram, banyak Raja-Raja-nya yang membuat
cerita sejarah leluhur Jawa. Kitab-kitab yang selamat tersimpan, lantas dikumpulkan, walau sudah banyak yang rusak
disana-sini. Seluruh masyarakat Mataram diperintahkan oleh Raja-Raja
Mataram agar mengumpulkan kitab-kitab kuno yang mereka simpan. Namun ternyata banyak sejarah yang telah terputus dan
tidak diketahui lagi. Semenjak jaman
Kerajaan Gilingwesi hingga Mataram, banyak sudah yang tidak bisa diketahui lagi ceritanya. Buku-buku yang berasal
dari Demak dan Pajang juga dikumpulkan.
Tapi ternyata hanya didapati kitab-kitab bertuliskan huruf Arab , kitab Fiqh dan Taju Salatin. Semua terhenti pada cerita
Surya Alam (Sultan Demak pertama). Raja
Mataram mendapatkan kekecewaan karena keinginannya untuk menyusun sejarah leluhur Jawa menemui kesulitan mendapatkan sumber
rujukan. Oleh karenanya, Raja Mataram lantas menitahkan para pujangga
mengarang naskah Babad Tanah Jawa. Dikarenakan
cerita yang diketahui hanya sebatas akhir Majapahit dan juga dikarenakan banyak para pujangga yang diperintahkan membuat,
maka muncullah berbagai versi. (yang
kebanyakan hanya berkisar seputar keruntuhan Majapahit hingga jaman Mataram). Sedangkan kisah sebelum Majapahit
diambil dari kisah Lokapala (Jadi dihubungkan
dengan cerita Mahabharata langsung). Dan hasilnya adalah sebagai berikut.”
Cucu Nabi Adam , yaitu
putra Nabi Syits (Seth), bernama Sayyid Anwar. Sayyid Anwar mendapat marah
dari ayah dan kakeknya dikarenakan telah bernai memakan buah pohon Budi
(Kesadaran) yang tertanam di Surga. Keinginan Sayyid Anwar agar dirinya memiliki kuasa
mirip dengan kuasa Tuhan. Bukan hanya terima memakan buah pohon Pengetahuan dan
buah Khuldi semata, namun buah dari pohon Budi (Kesadaran) juga dimakannya. Sayyid
Anwar lantas membuat Syari’at (aturan agama) sendiri, tidak mau memakai aturan yang
dibuat oleh ayahnya maupun kakeknya. Oleh karenanya dia murtad dan menolak
memakai agama leluhurnya. Serta tidak mau mengakui sebagai keturunan dari Nabi Adam
dan Nabi Syits (Seth). Menurutnya, dirinya berwujud dengan sendirinya, hanya
jasadnya saja yang berasal dari Adam dan Syits. Dirinya berasal dari Budi Hawa (Kesadaran dan
Kehendak) Tuhan langsung. Pendapat yang demikian itu sangat dipegang teguh
oleh Sayyid Anwar, alasan dia : Yang berasal dari kosong, kelak akan kembali kepada
kekosongan tersebut. Oleh karenanya Sayyid Anwar lantas pergi dari kediamannya menuju
ke timur, ke tanah Dewani. Disana lantas bertemu dengan Raja Jin Prabhu Nur Adi.
Sayyid Anwar ditanya asal usulnya dan dia lantas menceritakan semuanya. Pada akhirnya
Sayyid Anwar diambil menantu dan diberikan warisan tahta kerajaan, menjadi Raja
Jin dengan gelar Prabhu Nur Cahya. Nama Dewani lantas diubah menjadi Jawa. Sudah
terkenal diseluruh tempat, Raja Jawa memahami segala ilmu yang kasar hingga yang halus.
Lantas Sang Prabhu (Nur Cahya) membuat sastra yang hanya berjumlah Dua Puluhsatu
huruf, seluruh ucapan orang Jawa bisa diwakili oleh aksara ini. Aksara ini lantas diberi
nama Satra Endra Prawata. Kata Jawa lantas diartikan dari kata ngu-JA ha-WA (Menuruti
Kehendak). Keinginan Sang Prabhu agar dirinya hingga seluruh keturunannya bisa
menduduki tahta. Sang Prabhu mempunyai satu orang putra bernama Sang Hyang Nur
Rasa. Juga menikahi seorang putri Jin. Memiliki satu orang putra bernama Sang
Hyang Wenang. Sang Hyang Wenang juga menikahi seorang putri Jin, juga memiliki satu
orang putra bernama Sang Hyang Tunggal. Sang Hyang Tunggal juga menikahi
seorang putri Jin. Memiliki putra Sang Hyang Guru. Sang Hyang Guru merasa memiliki kuasa
seperti Gusti Allah lantas membuat kerajaan diatas puncak Gunung Mahameru serta
mengajarkan bahwa alas-usul kehidupan keluar dari BUDI HAWA NAFSU (KESADARAN
dan KEHENDAK). Mengambil gelar sebagai Dewa dan beragama Buda Budi,
menyembah kesaktiannya sendiri dan mengaku sebagai Gusti Allah. Kehendak yang demikian
itu diijinkan oleh Yang Maha Kuasa, serta diijinkan untuk mengimbangi kuasa dari
Yang Maha Kuasa sendiri. Dewa bisa dimaknai dua arti pertama bu-DI ha-WA (Kesadaran
dan Kehendak) serta wa-DI da-WA (Rahasia Memanjang) dan menamai agamanya agama
Buda. Sedangkan Dewi maksudnya : DE-ning W-ad-I-ning wadon iku bisa ngêtokake
êndhas bocah. (Melalui tempat rahasia seorang wanita bisa mengeluarkan kepala
manusia).
Darmagandhul lantas diperintahkan untuk menimbang mana yang benar dan
mana yang salah, memakan buah pohon Pengetahuan, atau memakan buah pohon Budi (Kesadaran) atau memakan
buah pohon Khuldi?
Menurut Darmagandhul semua
itu benar, mana yang disenangi harus di mantapkan dalam hati.
Jika yang dimakan buah pohon Budi, maka menyebut Tuhan dengan nama Dewa. Jika
yang dimakan buah pohon Pengetahuan, menyebut nama Kangjeng Nabi Isa,
agamanya Srani (Nashrani). Jika yang dimakan buah pohon Khuldi, agamanya Islam.
Memuji Nabi panutan, yaitu Kangjeng Nabi Rasul. Manakala menyukai daun Pengetahuan dan daun
Budi, menyembah Pik-Kong, menuruti aturan agama Sisingbing dan Sicim.
Semuanya sudah benar. Namun jika bisa, tiga macam buah tadi dimakan semua. Jika manusia tidak memakan
ketiga-tiganya akan menjadi manusia bodoh.
Hidupnya bagai batu, tidak memiliki tujuan serta tidak bisa membedakan baik dan
buruk. Akan tetapi menurutku pribadi,
manusia itu menuruti kondisi alam saja, jika Khalifah (Penguasa) memakan buah Budi, ikuti saja memakan buah Budi.
Jika Khalifah (Penguasa) memakan buah
Pengetahuan, ikuti saja memakan buah Pengetahuan. Jika Khalifah (Penguasa)
memakan buah Khuldi, ikuti saja memakan buah Khuldi. Masalah benar atau salah, Khalifah juga yang bakal
mempertangung jawabkannya. Sebab seorang Khalifah itu menjadi panutan banyak orang. Jika diibaratkan sebagai
pohon, Khalifah seumpama batangnya.
Jikalau ada bagian pohon yang tidak sesuai dengan batangnya, ibarat ikan yang
keluar dari dalam air. Jilalau buah tidak mau menempel pada pohon, akan terhampar tanpa tempat bersandar. Oleh
karenanya, sebaiknya manusia mengikuti agama yang sudah diwariskan
kepadanya. Seumpama salah, Gusti Allah pasti akan memberikan pengampunan-Nya. Darmagandhul lantas meminta kejelasan
perbedaan antara agama Rasul dengan
agama lainnya.
Kyai Kalamwadi lantas menerangkan
perbedaannya, menurut petunjuk Yang Maha
Kuasa, manusia diwajibkan untuk memuja agama. Akan tetapi lantas banyak yang telah keliru memuja kepada benda yang terlihat.
Seperti halnya keris, tombak dan berbagai
macam barang pusaka, lantas melupakan Tuhan, disebabkan telah mendua dengan men-Tuhan-kan benda. Manusia hidup harus
mempunyai agama sebagai pegangan,
sebab jika tidak memiliki agama dipastikan banyak melakukan kesalahan tak
sengaja, baik kesalahan yang besar atau sedikit. Yang bisa membuat sirnanya
kesalahankesalahan tadi, hanyalah
air suci, yaitu tekad lahir batin (dan itu yang diajarkan agama). Yang dimaksudkan dengan air suci tekad maksudnya
milikilah pikiran yang ening (hening),
itulah cara mandi manusia yang sesungguhnya, mampu membersihkan lahir dan batinnya.
Manusia utama dalam beragama tidak mengharap-harapkan memperoleh surga, yang dicari hanyalah keutamaan suci
melebihi manusia lainnya, jangan sampai menemukan penderitaan, mempunyai nama yang baik, mempunyai sesebutan
utama, mendapatkan ketentraman lahir
batin, mulia seperti dulu-dulunya saat masih berada di alam samar, tidak terkena kesedihan dan
keprihatinan. Bersihkan-lah pintu surgamu, berilah hiasan dengan tekad utama, supaya tidak menimbulkan masalah,
bisa selamat lahir dan batin. Yang
aku maksudkan dengan pintu surga dan pintu neraka, adalah sarana menuju kebahagiaan atau penderitaan. Jika baik
adanya akan menarik keuntungan, jika buruk
keadaannya akan menuai celaka. Pintu surga dan pintu neraka tak lain adalah
ucapanmu. Jika buruk mengundang celaka, masuk pada penderitaan. Jika baik, akan
mendapatkan keuntungan.
Darmagandhul bertanya
lagi. Manusia didunia hanya berwujud lelaki dan perempuan, akan tetapi
mengapa jadinya bermacam-macam bentuk, ada Jawa, Arab, Belanda dan China.
Mengapa pula agamanya berbeda. Mengapa tidak diberikan satu ajaran saja?
Kyai Kalamwadi lantas
menjelaskan. Semua adalah kehendak Yang Maha Kuasa. Oleh karena ajaran dibuat
berbeda-beda, dimaksudkan agar seluruh manusia bisa terpicu menemukan buah pohon
Kesadaran dan buah pohon Pengetahuan. Dengan sarana kecerdasan yang
diberikan, sampai dimana mampu memetik buah Pengentahuan dan buah Kesadaran.
Ketahuilah, Gusti Allah telah menciptakan sastra yang gaib, disebut sastra Hidup. Manusia
jarang yang bisa memahaminya, walaupun para Auliya maupun para Nabi tetap saja
memahami sebatas yang mereka bisa. Segala buah pohon Pengetahuan dan buah
pohon Kesadaran diwujudkan dalam tulisan, diguratkan diatas DALWANG (kertas) dengan
MANGSI (tinta) agar bisa terlihat wujudnya. Tempat mengguratkan tinta itu disebut DALWANG, karena
disana sebagai sarana me-DAL WANG-ngune
(Keluar wewujudannya), MANGSIT (Memicu) manusia agar memakan buah pohon Pengetahuan (mendapat
Pemahaman/Pengertian sebelum mendapatkan buah pohon Budi atau Kesadaran : Damar Shashangka). Alat tulisnya dinamakan
KALAM, sebab buah pengetahuan yang
tergurat disana bagaikan ucapan alam.
Segala macam sastra/ajaran pemberian Yang Maha Kuasa, wajib dimakan, agar
kaya pengertian dan kaya pemahaman, hanya manusia yang tidak memahami sastra/ajaran pemberian
Gusti Allah tidak akan memahami WANGSIT (Pengetahuan Rahasia).
(Aulia) yang terhormat Gong Cu (Kong Hu Cu) terlalu terburu-buru meniru sastra/ajaran gaib
pemberian Gusti Alah, sehingga saat berusaha mewujudkannya dalam bentuk aksara tidak bisa
sempurna dan banyak pengucapan yang cedal . Para Auliya yang lain diseluruh dunia
dengan sabar mencoba meniru sehingga mampu menciptakan aksara dengan batasan pasti.
Hanya aksara China yang terlampau banyak jumlahnya, pengucapanya juga cedal,
sebab Auliya disana yang membuat aksara tersebut terlalu terburu-buru memakan
buah Pengetahuan dan lupa memakan buah Kesadaran, lupa jikalau dirinya
dititahkan sebagai manusia. Memaksakan diri memakai kuasa Yang Maha Kuasa, meraih sesuatu yang
belum saatnya, terburu-buru membuat aksara hingga jumlahnya tak bisa
dihitung. Aku menyebut aksara seperti itu adalah sastra Godhong (Daun). Yaitu Daun dari
pohon Kesadaran dan daun pohon Pengetahuan, diambil sedikitsedikit, ditata dan dikumpulkan, diwujudkan
dalam aksara dan ternyata jumlahnya ribuan.
Auliya China hendak meniru semua sastra Hidup buatan Gusti Allah. Auliya Jawa sebelum mencipta aksara sudah mencapai tahap
Kesadaran, oleh karenanya saat hendak mewujudkan
ajaran/sastra Hidup milik Gusti Allah disertai pula dengan kesabaran, sehingga mampu menciptakan aksara yang jumlahnya
bisa dibatasi. Auliya Arab memakan
buah pohon Kuldi, membuat aksara demi untuk mewujudkan sastra/ajaran Hidup
Gusti Allah juga bisa dibatasi. Tapi sesungguhnya sastra/ajaran Hidup buatan Gusti Allah, berasal dari Sabda (AUM ~ Logos :
Damar Shashangka), berwujud sendiri, berbunyi
jelas dan bentuknya berbeda-beda serta tak terhitung.
Darmagandhul lantas disuruh menimbang, dari semua ajaran buatan para
Auliya tadi yang bisa menunjukkan tingkatan tinggi rendahnya Kesadaran aksara
yang mana?
Menurut pertimbangan Darmagandhul, semua ajaran bisa dianggap benar,
jikalau semua keluar dari Kesadaran. Sedangkan aksara yang berjumlah lebih
sedikit sebagai sarana mewujudkan ajaran tersebut dalam bahasa manusia, menurut
Darmagandhul itu hanya karena kepintaran/kemahiran sang pencipta aksara tersebut (tidak
ada hubungannya dengan Kesadaran sama sekali. : Damar Shashangka).
Kyai Kalamwadi berkata : “Jika manusia hendak
melihat sastra/ajaran Gusti Allah,
aksaranya tidak bisa dilihat dengan mata lahir, hanya bisa dilihat dengan mata Kesadaran. (Ajaran Hidup atau ajaran Tuhan itu
adalah Rta/Dharma/Kebenaran/Hukum Alam
ini. Itulah sastra/ajaran Tuhan yang sesungguhnya : Damar Shashangka). Gusti Allah Tunggal ada-Nya, akan tetapi Dzat-Nya
meliputi seluruh perwujudan. Untuk bisa melihat harus dengan Kesadaran
yang jernih, tidak boleh tercampuri kehendak yang aneh-aneh. Harus teliti dan sabar, supaya menyadari kenyataan Dia yang
sebenarnya.
Kyai Kalamwadi duduk
dihadap istrinya yang bernama Endhang Prejiwati. Darmagandhul serta para
cantrik (murid) yang lain menghadap. Saat itu Kyai Kalamwadi tengah memberikan
wejangan kepada istrinya. Demikianlah kewajiban seorang suami, harus memberikan
pengajaran yang baik bagi istrinya. Yang diwejangkan adalah pengetahuan Kesejatian
dan pengetauan yang diperlukan jika sudah datang saatnya kematian. Seorang istri
diibaratkan seperti halnya rumah. Walau kondisinya sudah baik, akan tetapi setiap hari
harus tetap dibersihkan, dipelihara dan diperbagus. Kyai Kalamwadi lantas
menuturkan, bahwasanya didalam raga manusia ini banyak firman Tuhan yang memberikan
pengetahuan. Tetapi hanya sebatas berupa tanda-tanda yang tertulis disekujur badan.
Kyai Kalamwadi berkata : “Dikarenakan diriku ini orang bodoh, oleh
karenanya aku tidak bisa memberikan wejangan yang terangkai dengan kata-kata indah.
Aku hendak bertanya kepada jasadmu, dan dari jasadmu akan banyak ditemukan jawaban.”
Lantas beginilah ucapan Kyai Kalamwadi. Tangan kirimu itu memiliki arti
sendiri, bisa dibuat contoh nyata kebaikan, menunjukkan bahwa ragamu itu dipenuhi
wujud hawa (Keinginan) belaka. Kata ‘KI’ maksudnya ‘i-KI’ (Ini) ‘WA’ maksudnya
‘we-WA-dhah’ (Tempat). Jasadmu itu ibarat perahu dan perahu ibarat dari seorang
wanita. WONG maksudnya
‘ngelo-WONG’ (Memiliki ruang), WADON (Wanita) maksudnya hanya sebagai WADHAH (Tempat). Isinya hanya tiga
perkara, yaitu KAR-RI-CIS. Maksud dari KAR-RI-CIS
adalah sebagai berikut :
1.
KAR artinya dza-KAR (Penis). Maksudnya jikalau
lelaki bisa memenuhi kelelakiannya (memenuhi kebutuhan biologis istrinya), sang
wanita pasti merasa puas, sehingga akan langgeng dalam perjodohan suami istri.
2.
RI artinya pa-RI (Padi). Maksudnya makanan. Jikalau
sang suami bisa mencukupi kebutuhan makanan sang istri, pastilah sang istri tenteram
hatinya.
3.
CIS maksudnya pi-CIS atau uang, jikalau sang suami
mampu memberikan uang yang cukup kepada sang istri, pastilah sang istri akan
tenteram.
Jika sebaliknya, jikalau
sang suami tidak mampu memenuhi ketiga-tiganya, sang istri bisa resah hatinya.
Sedangkan tangan TENGEN (Kanan) maksudnya ‘etung-NGEN’ (Telitilah) tingkah
lakumu. Setiap hari harus bersedia melayani suami bahkan sang wanita wajib pula membantu sang
suami mencari sandang dan pangan.
Bahu atau
KANTHI (Damping), maksudnya seorang istri adalah pendamping suami untuk melakukan segala pekerjaan yang
perlu.
SIKUT (Siku) maksudnya
SINGKUREN (Belakangilah) segala perbuatan salah. UGEL-UGEL (Pergelangan)
melambangkan, walau terjadi pertengkaran, seyogyanya tidak akan terpisahkan
selamanya (Pergelangan adalah tempat sambungan antara dua tulang yang terpisah.
Suami dan istri walau memiliki keinginan yang berbeda, tetaplah menjadi satu
ibarat pergelangan tangan tersebut).
EPEK-EPEK
(Telapak tangan), maksudnya nge-PEK (Meminta) nama suami. Sebab wanita jika sudah bersuami, namanya lantas
dipanggil dengan nama suaminya. Inilah
perlambang dari Warangka (Sarung Keris) masuk kedalam Curiga (Keris). Warangka adalah sang wanita, Keris-nya adalah
nama dari suaminya.
RAJAH ditelapak tangan,
memberikan petunjuk agar seorang istri menganggap suaminya adalah Raja-nya.
DRIJI (Jemari) maksudnya adalah DREJEG atau
pagar. Kelilingilah jiwamu dengan pagar
keutamaan, seorang wanita harus memiliki watak utama. Setiap jemari memiliki arti sendiri-sendiri.
JEMPOL artinya EMPOL (Bagian renyah didalam batang pohon kelapa yang bisa
dimakan), maksudnya seorang istri manakala diingini oleh seorang suami,
haruslah mudah dan renyah bagaikan renyahnya empol kelapa.
DRIJI PANUDUH (Jari telunjuk) maksudnya seorang wanita harus menjalani
apa saja sa-PITUDUH-e (Segala yang ditunjukkan) oleh sang suami.
DRIJI PANUNGGUL
(Jari tengah), maksudnya agar seorang wanita bisa ngUNGGUL-ake (Mengunggulkan) suaminya agar mendapat keberkahan.
DRIJI MANIS (Jari manis)
maksudnya seorang wanita harus memiliki wajah dan tingkah laku yang MANIS,
berbicara yang MANIS dan sewajarnya.
JENTHIK (Jari
kelingking) maksudnya sebagai seorang istri, seorang wanita kuasanya dalam rumah tangga hanya seperlima dari
kuasa suami, oleh karenanya harus setia dan menurut kepada suaminya.
KUKU maksudnya harus KUKUH (Kuat dan rapat) menjaga bagian rahasianya, jangan sampai gampang
kendor tapih (kemben)-nya. (Gampang tergoda lelaki lain)
Pegangan hidup (PIKUKUH) berumah tangga, bagi wanita harus setia dan
penurut kepada suaminya serta harus menjalani empat perkara, yaitu : PAWON
(DAPUR) PATURON (RANJANG), PANGREKSA (MENJAGA DIRI) serta menghindari PADUDON (PERTENGKARAN).
Hidup berumah tangga
manakala bisa menetapi aturan ini, dapat dipastikan akan selamat dan tenteram.
Kyai Kalamwadi memberikan
petunjuk lagi tentang ketetapan berumah tangga. Menurut Kyai Kalamwadi,
hidup berumah tangga harus berketetapan pada hati yang ingat, jangan sampai
berbuat yang tidak baik. Bukan harta benda dan wajah sebagai pegangannya, tapi hati
yang senantiasa ingat. Jika gampang sangat-sangat gampang, jika sulit, sangat-sangat
sulit menjalaninya. Jika gagal gagal sekalian, jika dapat harus dapat sekalian (tidak boleh
setengah-setengah maksudnya), jikalau sampai salah jalan tidak bisa diberikan ganti rugi
dengan harta dan perwajahan tampan/cantik (jika sudah melakukan kesalahan, tak pandang
punya harta banyak atau wajah bagus, tetap akan mendapatkan malu). Seorang istri harus senantiasa ingat
jika dirinya dimiliki oleh seorang suami. Jikalau
tidak mengingat akan hal ini, akan seenaknya dalam bersikap, sebab jika sampai
ingkar, bisa menghilangkan keberkahan hidup berumah tangga. Yang dimaksud
dengan ingkar bukan hanya ber-zina dengan lelaki lain saja, akan tetapi
segala hal perbuatan yang berakibat tidak
baik, juga bisa disebut ingkar, oleh karenanya seorang istri harus apa adanya (jujur) lahir dan batin, sebab jika
tidak, pasti akan mendapatkan dua maca dosa, pertama berdosa kepada
suami dan kedua berdosa kepada Gusti Allah, dapat dipastikan tidak akan mendapatkan kehidupan yang nyaman dikemudian
harinya. Oleh karena itu hati harus
senantiasa ingat, sebab perbuatan badan menuruti keinginan hati, sebab hati adalah raja bagi badan. Hidup berumah
tangga bisa diibaratkan sebuah perahu besar,
jalannya perahu terletak pada layar dan kemudi, walaupun layar sudah benar manakala kemudi salah menjalankan, perahu-pun
tidak akan bisa berjalan baik. Suami ibarat
pemegang layar sedangkan sang istri ibarat pemegang kemudi. Walaupun sudah
benar menjalankan kemudi, namun jika layar tidak benar, maka jalannya perahu
juga tidak bisa tegak. Jikalau
keduanya sudah benar, maka akan menuai ketentraman dan akan sampai apa yang diinginkan, sebab kedua-dua
orang menjalankan tugasnya dengan baik.
Singkatnya, hidup berumah tangga kedua pasang suami istri harus sama tujuannya,
oleh karenanya harus rukun,
kerukunan akan membuahkan kebahagiaan. Bukan hanya yang tengah menjalankan hidup berumah tangga saja
yang akan bahagia, jika bisa belajar hidup
rukun, tetangga kiri dan kanan-pun juga ikut bahagia.
Aku katakan padamu, jalan
memperoleh kemuliaan hidup itu ada empat perkara :
1.
Mulia karena nama
2.
Mulia karena harta
3.
Mulia karena banyak ilmu
4.
Mulia karena banyak keahlian
Yang
dimaksudkan dengan mulia karena nama, itu manusia utama, bisa mendapatkankeuntungan besar, dan keuntungan
tersebut bisa dirasakan oleh orang lain pula. Sedangkan mulia karena harta, mulia karena banyak ilmu dan mulia
banyak keahlian, dimanapun tempatnya
akan dihargai orang.
Jalan menuju
kesengsaraan juga ada empat perkara :
1.
Rusaknya hati (moral) manusia itu jikalau moralnya
rusak, raganya juga ikut menemui kerusakan.
2.
Rusaknya raga, yaitu manusia berpenyakitan
3.
Rusaknya nama, yaitu manusia miskin.
4.
Rusaknya Budi (Kesadaran), itulah manusia bodoh. Manusia bodoh sempit pikirannya dan kebanyakan pemarah.
Manusia yang mendapatkan
anugerah dari Gusti Allah adalah manusia yang sehat, cukup rejeki dan tentram
hatinya.
Manusia hidup yang ingin
menjadi manusia utama, maka milikilah nama baik agar bisa dijadikan contoh
oleh mereka yang ditinggalkan kemudian.”
Ki Darmagandhul lantas
memohon agar diterangkan perbandingan kecerdasan orang dulu dengan
sekarang, mana diantara kedua generasi yang pintar, banyak orang memiliki
pendapat yang bermacam-macam tentang hal itu.
Kyai Kalamwadi menjawab
: “Orang dulu dengan orang sekarang sama-sama cerdasnya. Hanya saja
orang jaman dulu kurang bisa mewujudkan kepintaran mereka, sehingga terlihat seolah
bodoh. Sedangkan orang jaman sekarang, telah mampu mewujudkan kepintaran
mereka sehingga terlihatlah mereka pintar. Kepintaran orang sekarang merupakan
limpahan dari kepintaran orang dimasa lalu. Jika orang dulu tidak ada yang pintar, tentunya
tidak ada yang bisa dibuat suri tauladan oleh orang jaman sekarang. Orang
sekarang masih banyak mencontoh kebijakan masa lalu. Orang yang hidup sekarang juga
memberikan sentuhan perubahan, apa yang kurang baik dijadikan lebih baik lagi. Orang
jaman sekarang, tidak terbiasa mengemas kebijakan mereka dalam wujud sastra/simbolik.
Tapi sesungguhnya, manusia tidaklah layak merasa pintar, karena dia hanya sekedar hamba.
Hanya sekedar menjalani. Hanya sekedar memakai jasad fisik. Gerak manusia
sesungguhnya sudah ada yang melakukannya. Namun jikalau kamu ingin tahu bagaimanakah manusia
yang benar-benar pintar, hal itu sisimbolkan pada sosok wanita yang tiap hari
memilah padi (nutu). Tampah (wadhah terbuat dari anyaman rotan) diisi beras
hasil ditumbuk. Lantas diputar sejenak. Kulit padi akan beterbangan semua. Sehingga terpisahlah mana
beras dan mana kulitnya. Lantas tinggal diambil untuk dipilah-pilah kembali.
Singkatnya, beras sebelum diolah untuk dimasak menurut selera harus dibersihkan
dulu. Begitulah kesadaran manusia hidup, harus mencontoh wanita tengah memilah
padi diatas tampah. Jika kamu bisa berlaku demikian, kamu manusia unggul. Akan tetapi sesungguhnya,
tanggung jawab yang sedemikian itu ada pada seorang Raja, yang menguasai
seluruh hamba-hambanya. Sedangkan dirimu harus mentaati peraturan negara agar hidupmu tidak diasingkan
sesama dan selamat. Dirimu akan menjadi sontoh bagi mereka yang ingin setia
pada negara. Oleh karenanya pesanku, jangan
sekali-kali dirimu mengaku pintar, itu bukan kewajiban manusia. Jika merasa pintar
akan mendapat murka dari Yang Maha Kuasa. Kuasa Gusti Allah tidak bisa digapai oleh manusia. Sadarilah manusia hidup itu
hanya sekedar menjalani semata. Jika ada
orang pintar, pasti akan ada yang lebih pintar lagi. Bahkan ada manusia pintar
kalah dengan orang bodoh. Bodoh
maupun pintarnya manusia itu atas kehendak Yang Maha Kuasa. Apapun yang
dimiliki manusia, apapun kebisaan manusia, semua hanya diberi pinjaman
oleh Yang Maha Kuasa. Jika sudah diambil, semua bakal musna seketika. Karena kuasa Gusti Allah, bisa saja hal yang
telah diambil tersebut di berikan kepada manusia bodoh, sehingga manusia bodoh bisa mengalahkan manusia pintar.
Oleh karenanya pesanku lagi, carilah
pengetahuan nyata, yaitu pengetahuan yang behubungan dengan moksha.”
Ki Darmagandhul lantas
bertanya lagi, memohon agar dijelaskan tentang petilasan keraton Kedhiri, yaitu
keraton Prabhu Jayabaya. Kyai Kalamwadi menjawab, “Sang Prabhu Jayabaya tidak
berdiam di Kedhiri (sekarang), namun berdiam di Daha, terletak disebelah timur sungai
Brantas. Sedangkan kota Kedhiri terletak di barat sungai Brantas dan disebelah timur
gunung Wilis. Di Desa Klotok, disana terdapat batu bata putih, itulah tempat petilasan Sang
Pujaningrat. Sedangkan keraton beliau terletak di Daha, sekarang disebut dengan nama Desa
Menang. Peninggalan keraton sudah tidak didapati lagi karena terurug oleh pasir akibat
muntahan lahar gunung Kelud. Semua bekas istana dan semua petilasan tersebut sudah
hilang. Pesangggrahan Wanacatur dan Taman Bagendhawati juga sudah sirna. Begitu
juga Pasanggrahan Sabda kadhaton milik Ratu Pagêdhongan juga sudah sirna. Yang
tertinggal hanya arca buatan Prabhu Jayabaya yang ada di candi Prudhung, Tegalwangi yang
terletak disebelah timur laut dari Menang, serta arca Raksasa perempuan yang diputus
tangannya oleh Sunan Benang saat masuk ke wilayah Kedhiri. Arca tadi duduk
menghadap ke barat. Ada lagi arca kuda berkepala dua, terletak disesa Bogem,
wilayah distrik Sukareja (Sukorejo).
Di daerah Lodhaya (Lodaya) ada seorang Raksasa wanita yang hendak
ngunggahunggahi (melamar) Sang Prabhu Jayabhaya. Akan tetapi belum sempat bertemu
dengan Sang Prabhu, Raksasa wanita tadi dikeroyok oleh para prajurid. Sang
Raksasa jatuh terkapar, tapi
belum meninggal dunia, begitu ditanya, dia menjawab bahwa hendak melamar Sang Prabhu Jayabhaya. Sang Prabhu lantas
menanyakan hal itu kepada Sang Raksasa,
Sang Prabhu mendapatkan jawaban serupa. Sang Prabhu lantas berkata : Wahai Raksasa! Sepeninggalku kelak, disebelah
barat dari daerah ini akan ada seorang Raja,
letak istananya ada di Prambanan. Dialah nanti yang bakal jadi jodohmu. Akan tetapi janganlah kamu berwujud seperti itu,
berwujudlah (ber-inkarnasi-lah menjadi) manusia, bergantilah nama Rara Jonggrang.”
Setelah diberitahu akan
hal itu, sang Raksasa lantas meninggal dunia. Sang Prabhu lantas memerintahkan
kepada para abdi dalem, agar supaya tempat dimana meninggalnya putri Raksasa tadi
diberi nama Desa Gumuruh. Tidak begitu lama kemudian Sang Prabhu Jayabhaya lantas
memerintahkan membuat arca didesa Bogem. Arca tadi berwujud kuda utuh dengan dua kepala.
Kiri kanannya diberikan batas. Patih sang Prabhu yang bernama Buta Locaya serta
Senapati yang bernama Tunggulwulung bersamaan menghaturkan pertanyaan apa yang
menjadi alasan Sang Prabhu menyuruh membuat arca yang sedemikian itu. Sang Prabhu lantas menjawab,
latar belakang beliau membuat arca sedemikian
itu hanya untuk perlambang kejadian yang akan terjadi nanti, siapa saja yang melihat perwujudan arca tadi akan paham kelakuan
wanita jaman nanti, jika sudah tiba masa
jaman Nusa Srenggi. Bogem artinya tempat perhiasan indah, arti simboliknya
bahwa wanita itu tempat menyimpan
barang-barang rahasia. Laren (Batasan) yang mengelilingi arca kuda maksudnya juga larangan. Kuda yang
dijaga berarti ibarat wanita yang dilindungi.
Berkepala dua adalah perlambang jika wanita Jawa kelak kebanyakan tidak setia, walaupun tidak kurang-kurang dalam
menjaganya, tetap saja bisa ingkar janji, Lagaran maksudnya adalah tempat tunggangan yang tanpa piranti apapun.
Pada jaman nanti kebanyakan manusia
yang hendak menikah tidak lagi meminta restu kedua orang tua, sebab sudah melakukan ‘lagaran’ dahulu, jika
cocok ya jadi untuk menikah, tapi jika tidak
cocok, maka urunglah menikah.
Sang Prabhu juga membangun
candi, sebagai tempat bagi masyarakat yang meninggal dan jenasahnya
dibakar disana, agar bisa kembali sempurna pulang ke alam sunyi. Kerap kali, saat
upacara pembakaran mayat berlangsung, Sang Prabhu berkenan hadir untuk
memberikan penghormatannya.
Itulah adat kebiasaan para Raja dijaman dulu. Oleh karenanya aku memohon kepada Dewa (Tuhan),
semoga Sang Prabhu (Raja sekarang) juga bersedia membangun candi untuk membakar
mayat, sebagaimana adat para Raja jaman dulu, sebab diriku ini putra dhalang, jangan
sampai lama-lama menjadi roh penasaran, jangan lama-lama jasadku berwujud utuh tanpa nyaea, aku
berharap agar secepatnya bisa kembali ke asalnya.
(Disini jelas, guru Darmagandhul, penulis buku ini seorang beragama Syiwa Buddha/Buda : Damar Shashangka).
Setelah Sang Prabhu Jayabhaya moksha, diikuti kemudian oleh Patih Buta
Locaya dan Senapati Tunggulwulung, begitu juga putri Sang Prabhu Ni Mas
Pagedhongan, semua ikut moksha. (Sang Prabhu Jayabhaya benar-benar moksha, artinya menyatu
kembali dengan Brahman, sedangkan ketiga tokoh yang lain hanya sekedar berpindah
alam : Damar Shashangka)
Buta Locaya
lantas menjadi Raja Makhluk Halus di Kedhiri. Tunggulwulung menjadi Raja Makhluk halus di Gunung Kelud sedangkan
Ni Mas Ratu Pagedhongan lantas
menjadi Raja Makhluk halus di Laut Selatan, bergelar Ratu Anginangin.
Ada pula orang yang disayangi oleh Sang Prabhu Jayabhaya, bernama Kramatruna. Kala Sang
Prabhu belom moksha, Kramatruna diperintahkan tinggal di danau Kalasan. Setelah
tiga ratus tahun kemudian, putra Raja di Prambanan, bernama Lembumardadu atau
Sang Pujaningrat naik tahta di Kedhiri, istananya terletak di barat sungai. KEDHI berarti
wanita yang sudah tidak mendapatkan datang bulan (menopause) sedangkan DHIRI berarti
tubuh. Yang memberi nama adalah Dewi Kilisuci, disesuaikan dengan kondisi beliau.
Oleh karenanya Kedhiri diangap negara wanita, jika berperang kebanyakan menang, akan
tetapi jika diserang banyak kalahnya. Watak para wanita Kedhiri, besar hati
(percaya diri) sebab terkena aura Sang Retna Dewi Kili Suci. Retna Dewi Kilisuci itu adalah
saudara tua Raja di Jenggala (Putra prabhu Airlangga, leluhur Raja-Raja Kedhiri
dan Jenggala : Damar Shashangka). Pertapaan Sang Retna Dewi Kili Suci ada di sebuah gua,
bernama Selamangleng, terletak dilereng gunung Wilis.
KETERANGAN TAMBAHAN.
Kanjeng Susuhunan
Ampeldênta mempunyai seorang putri bernama Ratu Patimah kala menikah dengan Nyi
Ageng Bela. Ratu Patimah menikah dengan Pangeran Ibrahim di Karang Kemuning.
Setelah Pangeran Ibrahim Karang Kemuning wafat, Ratu Patimahlantas bertapa di
Manyura. Pernikahan Ratu Patimah dengan Pangeran Ibrahim memiliki seorang putri bernama
Nyi Ageng Malaka, dijdohkan dengan Raden Patah.
Raden Patah (Raden
Praba), putra Prabhu Brawijaya dengan putri China yang lantas diberikan kepada Arya
Damar Adipati Palembang. Setelah naik tahta bergelar Sultan Syah ‘Alam Akbar Sirullah Kalifaturrasul Amirilmu’minin Rajudil ’Abdu’l
Hamid Khaq, atau Sultan Adi Surya ‘Alam ing Bintara (Dêmak).
Putri Champa yang
bernama Dewi Anarawati (Ratu Emas) yang diperistri Prabhu Brawijaya mempunyai tiga
putra.
1.
Putri bernama Rêtna Pambayun, dijodohkan dengan
Adipati Andayaningrat penguasa Pêngging, kala jaman pemberontakan negara
Bali kepada Majapahit.
2.
Raden Arya Lêmbupêtêng Adipati di Madura.
3.
Masih teramat muda dan suka bertapa, bernama Raden
Gugur, setelah muksa bergelar Sunan Lawu.
Kakak Putri Champa bernama Pismanhawanti dinikahi putra Syeh Jumadil
Kubro yang terlahir dari Siti Fatimah Kamarumi, masih keturunan Kangjeng Nabi
Muhammad, bernama Maulana Ibrahim, berasal dari Jedah, lantas pindah ke Champa,
menjadi imam di tanah Asmara di Champa, sehingga lantas terkenal dengan gelar Syeh
Maulana Ibrahim Asmara. Beliaulah ayahanda Susuhunan Ampeldênta (Sunan Ampel), Surabaya. Sedangkan adik putrid
Champa laki-laki bernama Aswatidab. Sudah memeluk agama Islam, berguru kepada
Syeh Maulana Ibrahim, lantas naik tahta menjadi Raja Pandhita di Champa menggantikan
kedudukan ayahandanya. Berputra satu bernama Raden Rahmad. Sedangkan kakak putrid
Champa yang dinikahi Maulana Ibrahim, berputra Sayid Ali Rahmad, dijaa terkenal
dengan gelar Susuhunan Katib ing Surabaya, bertempat di Ampeldhenta lantas
terkenal dengan gelar Susuhunan Ampeldênta (Sunan Ampel). Champa adaah wilayah
yang terletak di India Belakang (Indo China). Sayyid Kramat yang diceritakan dalam buku
ini bergelar Susuhunan ing Bonang (Sunan Benang).
TAMAT
Mas minta tolong buatkan tempat download karya mas ini tentang serat darmagandhul agar bisa saling bertukar pengetahuan mengenai sastra
BalasHapus